BBM 12 KERATON YOGYAKARTA
Setelah menulis BBM 9 PURO
PAKUALAMAN, ada pertanyaan dari teman di Langsa Aceh Timur, “Sekaten itu acara
apa kak?”
Eeemm...kemarin saat Maulid Nabi
Muhammad saw hari jum’at tanggal 1 Desember 2017 saya medapatkan brosur tentang
KERATON YOGYAKARTA yang dibuat oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA YOGYAKARTA
Jl.Jogja – Solo km 15, Bogem, Sleman, Yogyakarta Website: www.purbakalayogya.com Email: bp3diy@yahoo.com
Saya ingin menulis ulang brosur
tersebut agar benar-benar tuntas dalam membacanya, mulai yuk...
SEJARAH KERATON YOGYAKARTA
Sejarah berdirinya Kasultanan
Yogyakarta dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Susuhunan
Paku Buwana III dan Belanda di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak
lain. Perjanjian perdamaian ini dilakukan di Desa Giyanti pada tanggal 29
Rabiulakhir 1680 Jw atau tanggal 13 Februari 1755 M. Sehingga perjanjian ini
dikenal nama Perjanjian Giyanti, Dalam Perjanjian Giyanti diputuskan tentang
pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian. Sebagian tetap
dikuasai oleh Susuhunan Paku Buwana III dengan Surakarta sebagai pusat
pemerintahannya dan sebagian yang lain dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dengan
pusat pemerintahan di Yogyakarta. Menurut perjanjian tersebut, Pangeran
Mangkubumi berhak atas daerah seluas 87.050 karya, dengan perincian 53.100
karya daerah negaragung dan 33.950 karya daerah mancanegara. Daerah-daerah
tersebut meliputi :
a. Sebagian daerah Pajang, Mataram, Kedu, dan
Bagelen,
b. Madiun, Bojonegoro, Mojokerto, Grobogan, dan
sebagian Pacitan.
Pada hari Kamis Pon tanggal 29
Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi yang kemudian
bergelar, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono 1 Senopati Ing Alaga Ngabdurachman
Sayidin Panatagama Kalifatullah mengumumkan bahwa daerah yang dikuasainya
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibu kota di Ngayogyakarto atau
sekarang dikenal sebagai Yogyakarta. Keraton Kasultanan Yogyakarta dibangun di Alas Beringin yang sebelumnya terdapat
pesanggrahan Garjitawati atau Ayodya. Luas wilayah Keraton Yogyakarta
14.000 meter persegi.
Secara fisik Keraton Yogyakarta
dibangun dengan mempertimbangkan aspek filosofis, ekologis, dan konsentris.
Pertama, secara filosofis diwujudkan dalam konsep tata ruang poros imajiner
atau sumbu filosofis antara Gunung Merapi -
Tugu - Keraton
- Panggung Krapyak, dan Laut Selatan [ Segara Kidul ]. Makna yang terkandung
dalam poros imajiner itu mencakup simbol keberadaan raja, yaitu satu tekat
antara raja dan rakyat, perjalanan hidup manusia dan simbol- simbol lain yang
berkaitan dengan lingkungan. Kedua, secara ekologis keberadaan Keraton Yogyakarta
mempertimbangkan kondisi lingkungan.
Di dalam lingkup tersebut
tercakup komponen utama kota dan tata ruangnya yang berorientasi ke utara -
selatan serta mengambil tempat di antara Sungai Code , Sungai Gajah
Wong, dan Sungai Opak di timur serta Sungai Winongo, Sungai Bedog, dan Sungai
Progo di sebelah barat. Ketiga, secara konsentris keraton menjadi pusat
orientasi dari kawulanya. Secara makro tata ruang wilayah terdiri dari kedhaton
sebagai pusat orientasi kuthagara,
negaragung dan mancanegara. Khusus untuk bangunan-bangunan keraton terdiri
atas kedhaton, cepuri, Alun-alun Utara dan Selatan, Masjid Agung, benteng
dengan jagangnya, Tamansari, pemukiman para bangsawan [ dalem ], Tugu, Panggung Krapyak, jaringan jalan sebagai Kuthagara. Sebagian wilayah Mataram,
Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumi Gede sebagai negaragung dan wilayah mancanagara
sebelah barat meliputi daerah Banyumas serta Mancanagara sebehah timur yang
meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, Pacitan, Kertosono, Kalangbret,
Ngrawa, Japan [ Mojokerto ], Jipang [ Bojonegoro ], Sela, dan Grobogan.
Sumbu Filosofis Yogyakarta
Salah satu ciri khas Kota
Yogyakarta adalah pola tata rakit kota yang membujur arah utara – selatan. Pola
itu diperkuat dengan adanya suatu “poros
imajiner” yang membentang dari arah utara menuju selatan dengan keraton
sebagai titik tengahnya. Poros imajiner diwujudkan dalam bentuk bangunan,
yaitu, yaitu tugu [ Pal putih ] di utara ke selatan berupa jalan Margatama [
sekarang Jalan Mangkubumi ], Margamulya [ Jalan Malioboro – Ahmad Yani ], pangurakan, keraton, dan Panggung
Krapyak. Jika titik awal [Tugu ] diteruskan ke utara sampai ke Gunung Merapi,
sedangkan dari Panggung Krapyak diteruskan sampai Laut Selatan. Secara
simbolis, filosofis pola penataan wilayah ini mempunyai arti dan makna
tersendiri, yaitu melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara
manusia dengan Tuhan [ Hablunminallah ]
dan antara manusia dengan sesamanya [
Hablunminannas ]. Secara kultural, poros Siti Hinggil – Tugu berfungsi
sebagai titik pusat konsentrasi apabila Sultan sedang lenggah sinewoko di Bangsal, Manguntur Tangkil, Siti Hinggil.
Jalan poros Siti Hinggil sampai
Tugu secara historis merupakan simbol keberadaan raja dalam menjalani proses
kehidupannya yang dilandasi manembah
manekung [ menyembah secara tulus ] kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan
disertai satu tekat menuju kesejahteraan bersama rakyat [ golong gilig ]. Dalam proses perjalanan hidupnya, raja diwarnai
berbagai halangan dan godaan yang dilambangkan dengan keberadaan pasar [ Beringharjo
] sebagai lambang godaan nafsu serakah benda/harta dan Dalem Kepatihan sebagai
lambang godaan kekuasaan. Namun, kalau dikelola dan dikendalikan, tantangan dan
hambatan tersebut dapat berpotensi menciptakan kesejahteraan lahir dan batin.
Gunung Merapi sebagai terminal akhir dalam alur proses sumbu filosofis Keraton.
Gunung Merapi diyakini pula sebagai surga
pangrantuan, yang berasal dari kata
antu yang artinya menanti, yakni “menanti sebelum roh diizinkan masuk
surga, yaitu kembali kepada Sang Pencipta”.
Bangunan-bangunan di Keraton
Yogyakarta
Keraton berarti tempat kediaman
raja, yaitu meliputi wilayah di dalam lingkup tembok cepuri, sedangkan istilah
kedhaton digunakan untuk menyebut bagian paling dalam keraton, yakni Bangsal
Kencana dan pelatarannya.Fisik Keraton Yogyakarta ditata dalam tujuh bidang
halaman, yang masing-masing dikelilingi tembok setinggi 5 meter. Ketujuh
halaman itu ditata berderet membentuk poros imajiner utara-selatan. Namun, di
Kedhaton terdapat poros/ sumbu yang mengarah timur-barat, mulai dari Kasatriyan
di timur kemudian ke barat yaitu Kedhaton [ Bangsal Kencana dan Prabayeksa ]
sampai kaputren dan Kedhaton Kilen.
Di tiap halaman terdapat bangunan-bangunan untuk memenuhi kebutuhan
seremonial, dan kebutuhan sehari-hari. Bangunan-bangunan tersebut antara lain
adalah: Tratag Pagelaran, Tratag Sitinggil, Bangsal witana, Bangsal Pancaniti,
Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencana, Gedhong Jene, Langgar Panepen, Kedhaton
Wetan, Bangsal Kemagangan dan Sasana Inggil Dwi Abad. Selain bangunan-bangunan
tersebut, di lingkungan keraton juga terdapat rgol-regol [ = pintu gerbang atau
gapura ] yang menghubungkan antar halaman, di antaranya Regol Gadhungmlathi,
Regol Kamagangan, Regol Manikantaya, Regol Danapertapa, dan Regol Sri Manganti.
Bangunan-bangunan di Keraton
Yogyakarta kaya dengan ornamen berupa ukiran, kaca patri, dan representasi tiga
dimensi. Ornamen-ornamen itu ada yang bersifat dekoratif saja, tetapi ada pula
yangjuga bersifat simbolik. Di antara ornamen-ornamen simbolik di Keraton
Yogyakarta yang terkenal adalah: prajacihna, yaitu lambang kerajaan berupa
sepasang sayap, mahkota dan inisial HB dalam huruf Jawa; sera sengkalan memet,
yaitu penanda waktu yang diwujudkan dalam komposisi gambar. Sengkalan memet di
Keraton Yogyakarta yang dikenal luas adalah “Dwi Naga Rasa Tunggal” berupa
representasi tiga dimensi dua ekor naga yang saling berlilitan ekor. Sengkalan
memet ini menggambarkan angka tahun 1682 J, yaitu kepindahan Sultan Hamengku
Buwana I dari Ambarketawang ke keraton.
Di dalam perjalanan sejarahnya,
Keraton Yogyakarta tidak berfungsi sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan
kerajaan saja, namun juga pernah berfungsi sebagai pusat perjuangan bangsa di
tahun-tahun awak kemerdekaan Republik Indonesia. Fungsi lain yang pernah
disandang Keraton Yogyakarta adalah sebagai pusat pendidikan tinggi, yakni
waktu bagian depan keraton, Pagelaran dan Sitinggil, dipinjamkan kepada
Universitas Gajah Mada pada dekade awal berdirinya. Berkaitan erat dengan
Keraton Yogyakarta adalah dua alun-alun, yakni Alun-alun Ler dan Alun-alun
Kidul yang mengapit keraton. Alun-alun Ler terletak di utara atau dengan kata
lain di depan keraton, sedang Alun-alun Kidul terletak di selatan, atau di
belakang keraton. Di tengah kedua alun-alun itu masing-masing terdapat sepasang
pohon beringin yang dilingkungi pagar keliling, sehingga sering disebut Ringin
Kurung. Pohon beringin yang di tengah Alun-alun Ler diberi nama Kiai Dewadaru
melambangkan persatuan antara Sultan dan Tuhan, dan Kiai Janadaru melambangkan
persatuan sultan dan rakyat. Sekali dalam setahun ada upacara pemangkasan kedua
pohon beringin tersebut. Perlu pula diketahui bahwa di tepi Alun-alun Ler
ditanam 63 pohon beringin melambangkan usia Nabi Muhammad saw.
Alun-alun Ler berfungsi sebagai
tempat untuk beberapa upacara dan acara, seperti Sekaten,Gerebeg, dan dahulu
juga untuk rampogan yaitu mengadu harimau melawan kerbau dengan para prajurit
sebagai pagar betis. Adapun Alun-alun Kidul digunakan untuk berlatih prajurit,
serta berfungsi sebagai jalur prosesi dalam upacara pemakaman jenazah seorang
sultan yang akan dimakamkan di Imogiri.
Selesai sudah isi dari informasi
yang terdapat dalam brosur tentang KERATON YOGYAKARTA, selanjutnya ditampilkan
pula foto-foto yang dapat dibuka di alamat web tersebut di atas. Bila dalam
menyalin ada tulisan yang salah, tamanbusur.blogspot.com akan berusaha untuk
membetulkannya. Yang saya lakukan sebagai upaya belajar mengenal lebih dalam
tentang keraton dengan cara membaca brosur dan menyalinnya kembali.