Sunday, December 3, 2017

BBM 12 KERATON YOGYAKARTA

BBM 12   KERATON YOGYAKARTA

Setelah menulis BBM 9 PURO PAKUALAMAN, ada pertanyaan dari teman di Langsa Aceh Timur, “Sekaten itu acara apa kak?”
Eeemm...kemarin saat Maulid Nabi Muhammad saw hari jum’at tanggal 1 Desember 2017 saya medapatkan brosur tentang KERATON YOGYAKARTA yang dibuat oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA YOGYAKARTA Jl.Jogja – Solo km 15, Bogem, Sleman, Yogyakarta Website: www.purbakalayogya.com Email: bp3diy@yahoo.com
Saya ingin menulis ulang brosur tersebut agar benar-benar tuntas dalam membacanya, mulai yuk...
SEJARAH KERATON YOGYAKARTA
Sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Susuhunan Paku Buwana III dan Belanda di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Perjanjian perdamaian ini dilakukan di Desa Giyanti pada tanggal 29 Rabiulakhir 1680 Jw atau tanggal 13 Februari 1755 M. Sehingga perjanjian ini dikenal nama Perjanjian Giyanti, Dalam Perjanjian Giyanti diputuskan tentang pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian. Sebagian tetap dikuasai oleh Susuhunan Paku Buwana III dengan Surakarta sebagai pusat pemerintahannya dan sebagian yang lain dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Menurut perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi berhak atas daerah seluas 87.050 karya, dengan perincian 53.100 karya daerah negaragung dan 33.950 karya daerah mancanegara. Daerah-daerah tersebut meliputi :
a.       Sebagian daerah Pajang, Mataram, Kedu, dan Bagelen,
b.       Madiun, Bojonegoro, Mojokerto, Grobogan, dan sebagian Pacitan.
Pada hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono 1 Senopati Ing Alaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah mengumumkan bahwa daerah yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibu kota di Ngayogyakarto atau sekarang dikenal sebagai Yogyakarta. Keraton Kasultanan Yogyakarta dibangun di Alas Beringin yang sebelumnya terdapat pesanggrahan Garjitawati atau Ayodya. Luas wilayah Keraton Yogyakarta 14.000 meter persegi.
Secara fisik Keraton Yogyakarta dibangun dengan mempertimbangkan aspek filosofis, ekologis, dan konsentris. Pertama, secara filosofis diwujudkan dalam konsep tata ruang poros imajiner atau sumbu filosofis antara Gunung Merapi  ­-  Tugu  -  Keraton  -  Panggung  Krapyak, dan Laut Selatan [ Segara Kidul ]. Makna yang terkandung dalam poros imajiner itu mencakup simbol keberadaan raja, yaitu satu tekat antara raja dan rakyat, perjalanan hidup manusia dan simbol- simbol lain yang berkaitan dengan lingkungan. Kedua, secara ekologis keberadaan Keraton Yogyakarta mempertimbangkan kondisi lingkungan.
Di dalam lingkup tersebut tercakup komponen utama kota dan tata ruangnya yang berorientasi ke utara  -  selatan serta mengambil tempat di antara Sungai Code , Sungai Gajah Wong, dan Sungai Opak di timur serta Sungai Winongo, Sungai Bedog, dan Sungai Progo di sebelah barat. Ketiga, secara konsentris keraton menjadi pusat orientasi dari kawulanya. Secara makro tata ruang wilayah terdiri dari kedhaton sebagai pusat orientasi kuthagara, negaragung dan mancanegara. Khusus untuk bangunan-bangunan keraton terdiri atas kedhaton, cepuri, Alun-alun Utara dan Selatan, Masjid Agung, benteng dengan jagangnya, Tamansari, pemukiman para bangsawan [ dalem ], Tugu, Panggung Krapyak, jaringan jalan sebagai Kuthagara. Sebagian wilayah Mataram, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumi Gede sebagai negaragung dan wilayah mancanagara sebelah barat meliputi daerah Banyumas serta Mancanagara sebehah timur yang meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrawa, Japan [ Mojokerto ], Jipang [ Bojonegoro ], Sela, dan Grobogan.

Sumbu Filosofis Yogyakarta
Salah satu ciri khas Kota Yogyakarta adalah pola tata rakit kota yang membujur arah utara – selatan. Pola itu diperkuat dengan adanya suatu “poros imajiner” yang membentang dari arah utara menuju selatan dengan keraton sebagai titik tengahnya. Poros imajiner diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu, yaitu tugu [ Pal putih ] di utara ke selatan berupa jalan Margatama [ sekarang Jalan Mangkubumi ], Margamulya [ Jalan Malioboro – Ahmad Yani ], pangurakan, keraton, dan Panggung Krapyak. Jika titik awal [Tugu ] diteruskan ke utara sampai ke Gunung Merapi, sedangkan dari Panggung Krapyak diteruskan sampai Laut Selatan. Secara simbolis, filosofis pola penataan wilayah ini mempunyai arti dan makna tersendiri, yaitu melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan [ Hablunminallah ] dan antara manusia dengan sesamanya [ Hablunminannas ]. Secara kultural, poros Siti Hinggil – Tugu berfungsi sebagai titik pusat konsentrasi apabila Sultan sedang lenggah sinewoko di Bangsal, Manguntur Tangkil, Siti Hinggil.
Jalan poros Siti Hinggil sampai Tugu secara historis merupakan simbol keberadaan raja dalam menjalani proses kehidupannya yang dilandasi manembah manekung [ menyembah secara tulus ] kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan disertai satu tekat menuju kesejahteraan bersama rakyat [ golong gilig ]. Dalam proses perjalanan hidupnya, raja diwarnai berbagai halangan dan godaan yang dilambangkan dengan keberadaan pasar [ Beringharjo ] sebagai lambang godaan nafsu serakah benda/harta dan Dalem Kepatihan sebagai lambang godaan kekuasaan. Namun, kalau dikelola dan dikendalikan, tantangan dan hambatan tersebut dapat berpotensi menciptakan kesejahteraan lahir dan batin. Gunung Merapi sebagai terminal akhir dalam alur proses sumbu filosofis Keraton. Gunung Merapi diyakini pula sebagai surga pangrantuan, yang berasal dari kata antu yang artinya menanti, yakni “menanti sebelum roh diizinkan masuk surga, yaitu kembali kepada Sang Pencipta”.

Bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta
Keraton berarti tempat kediaman raja, yaitu meliputi wilayah di dalam lingkup tembok cepuri, sedangkan istilah kedhaton digunakan untuk menyebut bagian paling dalam keraton, yakni Bangsal Kencana dan pelatarannya.Fisik Keraton Yogyakarta ditata dalam tujuh bidang halaman, yang masing-masing dikelilingi tembok setinggi 5 meter. Ketujuh halaman itu ditata berderet membentuk poros imajiner utara-selatan. Namun, di Kedhaton terdapat poros/ sumbu yang mengarah timur-barat, mulai dari Kasatriyan di timur kemudian ke barat yaitu Kedhaton [ Bangsal Kencana dan Prabayeksa ] sampai kaputren dan Kedhaton Kilen.
Di tiap halaman terdapat  bangunan-bangunan untuk memenuhi kebutuhan seremonial, dan kebutuhan sehari-hari. Bangunan-bangunan tersebut antara lain adalah: Tratag Pagelaran, Tratag Sitinggil, Bangsal witana, Bangsal Pancaniti, Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencana, Gedhong Jene, Langgar Panepen, Kedhaton Wetan, Bangsal Kemagangan dan Sasana Inggil Dwi Abad. Selain bangunan-bangunan tersebut, di lingkungan keraton juga terdapat rgol-regol [ = pintu gerbang atau gapura ] yang menghubungkan antar halaman, di antaranya Regol Gadhungmlathi, Regol Kamagangan, Regol Manikantaya, Regol Danapertapa, dan Regol Sri Manganti.
Bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta kaya dengan ornamen berupa ukiran, kaca patri, dan representasi tiga dimensi. Ornamen-ornamen itu ada yang bersifat dekoratif saja, tetapi ada pula yangjuga bersifat simbolik. Di antara ornamen-ornamen simbolik di Keraton Yogyakarta yang terkenal adalah: prajacihna, yaitu lambang kerajaan berupa sepasang sayap, mahkota dan inisial HB dalam huruf Jawa; sera sengkalan memet, yaitu penanda waktu yang diwujudkan dalam komposisi gambar. Sengkalan memet di Keraton Yogyakarta yang dikenal luas adalah “Dwi Naga Rasa Tunggal” berupa representasi tiga dimensi dua ekor naga yang saling berlilitan ekor. Sengkalan memet ini menggambarkan angka tahun 1682 J, yaitu kepindahan Sultan Hamengku Buwana I dari Ambarketawang ke keraton.
Di dalam perjalanan sejarahnya, Keraton Yogyakarta tidak berfungsi sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan kerajaan saja, namun juga pernah berfungsi sebagai pusat perjuangan bangsa di tahun-tahun awak kemerdekaan Republik Indonesia. Fungsi lain yang pernah disandang Keraton Yogyakarta adalah sebagai pusat pendidikan tinggi, yakni waktu bagian depan keraton, Pagelaran dan Sitinggil, dipinjamkan kepada Universitas Gajah Mada pada dekade awal berdirinya. Berkaitan erat dengan Keraton Yogyakarta adalah dua alun-alun, yakni Alun-alun Ler dan Alun-alun Kidul yang mengapit keraton. Alun-alun Ler terletak di utara atau dengan kata lain di depan keraton, sedang Alun-alun Kidul terletak di selatan, atau di belakang keraton. Di tengah kedua alun-alun itu masing-masing terdapat sepasang pohon beringin yang dilingkungi pagar keliling, sehingga sering disebut Ringin Kurung. Pohon beringin yang di tengah Alun-alun Ler diberi nama Kiai Dewadaru melambangkan persatuan antara Sultan dan Tuhan, dan Kiai Janadaru melambangkan persatuan sultan dan rakyat. Sekali dalam setahun ada upacara pemangkasan kedua pohon beringin tersebut. Perlu pula diketahui bahwa di tepi Alun-alun Ler ditanam 63 pohon beringin melambangkan usia Nabi Muhammad saw.
Alun-alun Ler berfungsi sebagai tempat untuk beberapa upacara dan acara, seperti Sekaten,Gerebeg, dan dahulu juga untuk rampogan yaitu mengadu harimau melawan kerbau dengan para prajurit sebagai pagar betis. Adapun Alun-alun Kidul digunakan untuk berlatih prajurit, serta berfungsi sebagai jalur prosesi dalam upacara pemakaman jenazah seorang sultan yang akan dimakamkan di Imogiri.


Selesai sudah isi dari informasi yang terdapat dalam brosur tentang KERATON YOGYAKARTA, selanjutnya ditampilkan pula foto-foto yang dapat dibuka di alamat web tersebut di atas. Bila dalam menyalin ada tulisan yang salah, tamanbusur.blogspot.com akan berusaha untuk membetulkannya. Yang saya lakukan sebagai upaya belajar mengenal lebih dalam tentang keraton dengan cara membaca brosur dan menyalinnya kembali.

Friday, December 1, 2017

BBM 11 BLANGKON NGAYOGYOKARTO

BBM 11    BLANGKON GAYA NGAYOGYOKARTO




Anda ingin  memiliki BLANGKON gaya NGAYOGYOKARTO yang demes sreg alias pas, nyaman dipakai? Coba luangkan waktu sejenak untuk membaca kisah ini. Perkenalkan pria paruh baya bernama bapak Agus Indarto yang tinggal di Jetis Sendang Sari kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul. Terdampar jadi pengrajin BLANGKON sebenarnya bukan cita dan angannya. Beliau asli dari Bugisan NGAYOGYOKARTO salah satu kampung sentral para pengrajin BLANGKON. Saat SMP kadang iseng-iseng membantu teman membuat BLANGKON. Berawal dari sinilah keterampilan itu dimiliki.

Lulus STM merantau ke Bali berdagang souvenir, barang dikirim oleh orang tuanya. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih bila Sang Pengatur berkehendak lain. Duoor ... dan duoor ... duoor ... bom Bali satu disusul yang ke dua memporak porandakan perekonomian para penjual souvenir untuk beberapa waktu. Tak sengaja, sayup-sayup terdengar nyanyian merdu Katon Bagaswara dari radio tetangga sebelah...PULANG KE KOTAKU...Gregah bagai terbangun dari mimpi...pak Agus segera berkemas untuk mudik sesuai lantunan mas Katon...PULANG NGAYOGYOKARTO... meski tak tahu apa yang akan dikerjakan nanti.

Coba tebak para pembaca, apa pilihan selanjutnya...nggak tanggung-tanggung. Menikah segera, dengan keyakinan rejeki pasti akan mengikuti setiap ada usaha. Buka angkringan jual nasi kucing [nasi bungkus yang ditambah sedikit lauk, sambal ikan teri atau kering tempe harganya sangat murah, sekarang pun hanya seribu lima ratus rupiah], wedang jahe, teh panas dan aneka gorengan murah meriah. Lokasi sekitar Universitas PGRI berjarak sekitar lima belas kilo meter dari kediamannya. Ngos-ngosan bolak balik mengangkut dagangan, belum lagi kalau musim hujan. Alhasil hanya bertahan delapan bulan.

Gempa bumi di kabupaten Bantul tahun 2006, membawa banyak korban dan lesunya perekonomian untuk beberapa waktu. Kala itu sudah punya putra. Terdesak kebutuhan untuk anak istri, mengharuskan pak Agus harus berfikir sekian keliling...berkunang-kunang bagai puyer bintang tujuh...pusiiinnnggg.... Kali ini tidak terinspirasi lagu namun teringat pepatah nenek moyang sopo nandur bakal ngunduh...siapa menanam akan menuai. Setiap ikhtiar pasti akan berbuah. Satu-satunya keterampilan adalah membuat BLANGKON khas gaya NGAYOGYOKARTO. Niatnya semula untuk batu loncatan sementara belum mendapat pekerjaan lain yang lebih menjanjikan mimpi masa depan. Minggu berganti bulan yang menyongsong matahari untuk selalu berganti...pindah kerja appaaa.... kok belum muncul juga batu-batu lain yang bisa diloncati. Tak terasa jemari tangannya semakin terampil menghasilkan BLANGKON yang halus dan memuaskan pelanggannya. Membuat rasa legowo ... hatinya sudah dapat menerima bahwa inilah karunia Tuhan yang harus beliau tekuni dan nikmati rasa seninya.

Awalnya hanya membuat lebih kurang dua puluh BLANGKON untuk disetor ke pasar BERINGHARJO sebagai pasar terbesar di NGAYOGYOKARTO. Ini dilakukan sekitar satu tahun. Karena kuwalitas dan kerapiannya bagus maka secara gethok tular...dari mulut ke mulut banyak yang pesan ke rumah, bahkan dari luar kabupaten Bantul. Semenjak semakin laris pak Agus tidak perlu setor ke pasar, cukup melayani para pemesan di rumah. Untuk pengrajin yang satu ini lebih idialis, beliau tidak punya asisten, semua dikerjakan sendiri. Lebih marem...mantap katanya.

Kaitannya dengan cinta lingkungan, bahan pembuatan BLANGKON ini sangat ramah lingkungan. BLANGKON kuwalitas prima, lapisan dalamnya menggunakan mendhong sejenis pelepah yang digunakan untuk membuat tikar tradisional. Saat dipakai lebih dingin dan lebih awet. Sedang harga yang lebih murah lapisan dalamnya menggunakan kertas karton dan lem. Bedanya lagi, kuwalitas prima semua pengerjaannya murni jahitan tangan. Disini ketrampilan personal sangat membedakan antara pengrajin yang satu dengan pengrajin yang lainnya. BLANGKON rapi...keren...mantap...laahh yooww.

Adanya DANA ISTIMEWA dari Pusat  memberi semangat munculnya pengrajin BLANGKON baru. Menurut pak Agus di Bantul ada sebelas pengrajin, belum ditambah yang tidak terdaftar. Di NGAYOGYOKARTO yang terdaftar ada tujuh puluh pengrajin. Persaingan di pasar semakin ketat mendorong mereka untuk meningkatkan kuwalitas.

Penghujung kunjungan saya di ruang kerja beliau yang nyaman duduk lesehan di serambi belakang nan tenang...ada pesan menyentuh hati...diniatkan tidak sekedar untuk mencari nafkah. Lebih dari itu...wujud sumbangsih nguri-uri kabudhayan leluhur. Wujud nyata upaya sumbangan karya budaya leluhur agar tak punah hilang terhantam budaya baru dari luar. Karyanya khusus BLANGKON MATARAM khas NGAYOGYOKARTO degan mondol satu.

Demikian yang dapat tamanbusur.blogspot.com sajikan. Kritik saran sangat saya harap untuk proses belajar menulis ini. Terimakasih kepada bapak Agus Indarto yang bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu di hari Senin tanggal 21 November 2016 jam 15.23 WIB.

Thursday, November 23, 2017

BBM 10 Daun Sirih Daun Salam


Daun Sirih


Minggu 20 Maret 1994 cuaca cerah tanpa mendung ataupun hujan, kita saling melempar daun sirih dan terlempar melesat ke arah dadaku. Bagai  raja dan ratu sehari, semua terasa indah tanpa beban ya.... Kau masih kekar, akupun masih langsing lhooo. Wees...wees...wees... bagai angin, waktu pun berlalu sangat cepat. Kini 23 tahun lebih kita bersama. Banyak perubahan baik fisik maupun pola pikir, sudah tidak muda lagi...hihihi... Bila saling lempar daun sirih boleh kita ulang lagi, aku ingin daunnya diganti dengan daun salam saja ya... Dan karena kita sekarang sudah sangat dekat, ku pinta tak usah kau lempar dong. Ambil sehelai daun salam yang segar...lalu sematkan di dadaku. Akan aku pejamkan mata untuk beberapa saat. Ku rasakan dinginnya sehelai daun salam segar yang melekat di dada. Kalbu menerawang jauuuuhh...salam bermakna keselamatan. Kini kita tak hanya berdua tetapi berempat dengan dua buah hati. Untai doa tak bertepi dalam pejam mataku, semoga salam salam salam keselamatan selalu beserta pada keluarga kita beserta tedhak turun  sampai akhir jaman nanti. Pelaaann ... kembali aku buka mata sampai relung hati, ayo kita mulai musyawarah untuk kenyamanan bersama. Mengingat dan menimbang sambil mencermati foto wajah kita, hihihi... sudah lain banget.  


Usia kita sama-sama lebih dari lima puluh tahun. Tentunya sudah  banyak waktu yang kita lalui daripada sisanya. Apa upaya kita mengisi waktu yang seakan dua puluh empat jam sehari pun masih terasa kurang. Kita merasa sok sibuk dalam kumparan rutinitas. Keluar rumah jam tujuh pagi, aku sampai rumah kembali sekitar menjelang waktu asar dan kau lebih lama lagi....hampir magrib baru sampai. Menunggu waktu Isya, istirahat sebentar dan kantuk pun sudah menghampiri. Esok hari berulang dengan rutinitas yang sama.


Dulu kita hanya berdua, sekarang pun kita juga berdua karena setelah selesai Sekolah Dasar dua anak kita tidak tinggal seatap. Mereka sekolah dan belajar di asrama, hanya sesekali kita dapat berkumpul berempat. Namun doa kita  selalu menyertai keduanya dalam tumbuh kembang menuju upaya membangun generasi sehat jasmani dan arif rohani. Semoga keduanya bermanfaat, terbimbing menebar kebaikan. Amiin.


Nah...., karena setiap hari kita hanya berdua, tentunya harus bisa membagi waktu dengan lebih maksimal. Ayolah.....sebelum habis waktuku. Coba kita cermati wajah masing-masing. Berangsur mulai rapi....bagai tumpukan baju di almari ya...., pipi melipat sendiri tanpa kita minta. Seiring bertambahnya usia lipatan itu kian bergurat saja. Empat gigi palsu selalu ku kenakan. Itulah asesori mahal yang pernah kau belikan. Waaahhhh.... jadi ingat Maret 2014 saat kita jatuh pun juga berdua. Belum lagi hidung pesekku, sebelah harus dijahit...woow...apa jadinya? ya besar sebelah tentunya. Tapi tak apalah...kami berdua masih ceria saat ini.


Salam...salam...salam...daun segar pelengkap bumbu dapur. Serba guna untuk penyedap aneka masakan. Buahnya berwarna merah dan manis rasanya. Aku merenung beberapa waktu, apa yang kita cari dalam hidup yang hanya sekejap ini? Salam... salam...salam...yaa.... keselamatan dan akhir yang berbuah manis. Berakhir dengan kebaikan yang didamba setiap hamba. Suamiku, apa yang bisa kita kerjakan dipenghujung waktu ini tanpa kita tahu kapan akan berakhir? Kalau kau berkenan mari kita mulai hobi yang bisa kita sajikan bersama. Hayo...apa...hayo...? Menulis kembali cerita masa kecil yang pernah kita sampaikan pada kedua anak kita saat menjelang tidur waktu kecil dulu...., atau menulis apa saja tentang alam yang tiada pernah habis untuk dituangkan dalam pena sampai kapanpun. Sebagai rasa sukur pada pencipta-Nya yang telah meberi kenikmatan tiada tara. Aku pinta kesepakatan ini, karena menulis memerlukan waktu. Sebelum mengantuk mungkin bisa kita luangkan waktu sejenak dan bersama. Aku gaptek, punya banyak keinginan tapi tak banyak mampu menggunakan komputer sampai posting. Naah..., bagi tugas ya...,aku yang mengucap kata demi kata dan kau yang menulisnya sampai posting. Dengan demikian masing-masing kita tak merasa diabaikan karena aktifitas diwujudkan bersama dan asyik juga bedua. Daah...janji lho ya... mau menemani dan ridho untuk belajar menulisku yaa,,,, Aku bukan mereka yang mahir dan piawai, namun aku hanya hamba yang punya keinginan untuk selalu belajar. Semoga suatu saat ada manfaatnya sekecil apapun, Amin.

Saturday, July 1, 2017

BBM 9 PURO PAKUALAMAN


Selasa 27 Juni 2017
 Dalem Puro Pakualaman tampak depan
Gerbang Dalem Puro Pakualaman tampak dari dalam






Pendopo Puro Pakualaman
Pemandangan di depan Pendopo
 Pengunjung mengisi buku tamu
Tampak ruang yang bersebelahan dengan buku tamu
 Gerbang pintu masuk tampak dari dalam. Terlihat keramaian yang ada di alun-alun Puro Pakualaman yang disebut Sewandanan.
 Bagian samping kanan gapuro masuk Puro Pakualaman
Bagian samping kanan gapuro masuk Puro Pakualaman
Mengingat waktu kecil. Setiap hari raya Idul Fitri, maka di alun-alun Puro Pakualaman yang disebut Sewandanan ada pasar mainan dan aneka jajanan maupun berbagai permainan anak. Pasar ini hanya ada beberapa hari saja. Termasuk pagi ini, lebaran Idul Fitri 1438 H hari ke tiga. Sekitar jam enam pagi sudah sampai di lokasi. Rejeki untuk yang rajin buka dagangan  lebih awal, saya beli satu set mainan anak dari tanah liat,terbang dan gamelan. Muthu, cowek, keren, anglo, wajan, sothil, serok, panci, ceret, kendhil, pengaron dan cangkir.
Siang hari saya datang berkunjung lagi, suasana lebih ramai. Ada penjual kapal api yang bisa mengapung melaju diatas air dengan bahan bakar minyak goreng, setelah sumbunya disulut api maka kapal itu akan bergerak maju diatas air. 
Ini gambar keong yang waktu kecil kami biasa menyebutnya sebagai Pong-pongan.
Pong-pongan yang rumahnya masih asli berwarna abu-abu. Tetapi yang dijual ada banyak variasi warna serta lukisan gambar orang dan lainnya. Aku hanya berpikir sederhana, bagaimana yaa...cara melukis di cangkang pong-pongan? Apa nggak takut dicapit pong-pongan? Ternyata tidak demikan keterangan dari Ibu penjualnya. Cangkang pong-pongan yang berwarna-warni dan berlukis ternyata dibeli kosongan. Sedang pong-pongan yang masih tinggal di rumah aslinya bisa dipindahkan ke rumah baru berupa cangkang pong-pongan yang berwarna-warni. Cara memindahnya ujung cangkang pong-pongan asli diketuk-ketuk bagian ujung sehingga keluar dan berjalan tanpa menggendong rumah. Pong-pongan yang tak memiliki rumah tersebut didekatkan pada cangkang warna-warni. Secara naluri akan masuk di cangkang baru sebagai rumahnya.

Dengan kesabaran menunggu dagangannya disela-sela peminat yang sudah berkurang karena banyaknya permainan yang lebih kekinian.
Suasana setelah sore tampak lebih sepi.
Pintu masuk menuju Puro Pakualaman. Sampai kapan tradisi ini berjalan? Setidaknya gores pena ini sudah berupanya mengabadikan cerita di Sewandanan yang sudah ada sejak aku kecil sampai usia genap lima puluh tahun. Dari permainan yang aku beli dapat dibuat cerita lagi tentang suasana pasaran anak-anak pada jaman dahulu sewaktu televisi masih jarang yang punya, apalagi hand phone belum terbayang ada.


Friday, March 17, 2017

BBM 8 Suatu Hari di Sungai Progo saat Air Pasang

 Senin pagi 16 Januari 2017 di sungai Progo saat air pasang.
Usia senja memacu untuk meninggalkan sesuatu untuk anak cucu berupa cerita abadi yang tak akan usang oleh waktu. Aku ulang pertemuan dengan sepuluh ibu penambang pasir, bedanya pada pertemuan kali ini sungai baru  pasang. Sangat lain situasinya dengan saat air surut dimana kami bisa melenggang bebas turun ke tengah sungai. Sekarang kami cukup di tepi saja. Kiranya ada hikmah tersendiri dari semua ini sehingga bisa tersaji dua cerita di tempat yang sama. BBM 6 saat air surut dan BBM 8 saat air pasang. Semoga cerita sederhana dan apa adanya sebatas kemampuan insan yang sedang proses belajar ini ada manfaatnya dikemudian hari.
Aku turun dari tepi sungai, maju beberapa langkah ke tengah.
Ceesss....ada perasaan lain merambat ke relung hati dari ujung jempol kaki yang basah, mencengkeram kuat bebatuan yang ada agar tidak terpeleset. Aku menoleh ke kanan, senyumku mewakili rasa haru. Dimana kemanapun  aku memandang, terbentang karuniaMu. Bagaimana tidak? dibawah kaki berpijak ini tersimpan rejeki berupa pasir yang warga sekitar tinggal mengambil, menjual dan mendapatkan penghasilan untuk berbagai keperluan hidup.
Saat aku menoleh ke kiri, sama saja. Tetap terhampar anugerahMu.
Bila pasir yang dicari baru tidak ada, maka bebatuan dengan berbagai ukuran tetap laku untuk dijual. Penghasilan pokok beberapa warga sekitar.
Karunia...anugerah...teruntai dalam lantunan doa.
Duh Gusti mugi paringa ing margi kaleresan
Kados margine manungso kang manggih kanikmatan
Sanes margine manungso kang Paduko laknati.
Ya Tuhan tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang tersesat.Amin.
Saat aku sampai , dua truk ini sudah siap dibibir sungai.
Menunggu tumpukan pasir yang siap dibeli, langsung jadi uang."Bapak-bapak, mohon maaf ya...mengganggu waktu bekerjanya sebentar. Kita abadikan dulu kegiatan disini untuk cerita anak cucu nanti".
Awalnya ragu juga, duduk diatas ban ini.
"Bu, masih berat pasirnya daripada berat ibu yang tak ada seratus kilo".
"Hemm, penjelasan dari yang lebih berpengalaman sudah aku buktikan".
Donat besar itu tetap harus ada yang memegang, kalau tidak...woooww...aku akan hanyut terbawa arus.
Bersukur, acara berjalan lancar dan selamat. Tiada sedikitpun keinginan untuk beraksi, yang aku harap DVD yang tersaji dapat menarik untuk dilihat, didengar dan dimengerti anak cucu.

 Ibu-ibu yang saya hormati, tidak semua gambar yang ada di DVD dapat saya cantumkan di blog ini. Untuk itu perkenankan saya menyampaikan pesan buat anak-anak kita terlebih dahulu.

BUAT ANAK-ANAK IBU

Yang masih duduk di Sekolah Dasar, SMP dan SMA.
Baik dari dusun Plambongan kecamatan Pajangan kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta maupun dilain tempat yang sempat menikmati.
Mari luangkan waktu sejenak untuk belajar bersama. Anak-anakku, apa mimpi kalian kedepan? Mungkin kita perlu tersenyum bersama dahulu, masing-masing kita pasti punya kelebihan beda. Punyailah cita-cita setinggi langit yang penuh bintang. Dan jangan lupa, MENGGAPAI MATAHARI pun bukan sesuatu yang mustahil. Kehangatan mentari sampai terik di siang hari membakar semangat generasi muda. Kumpulkan dari yang sedikit ditambah sedikit ...berkolaborasi menjadi kekuatan DAHSYAT.
Apapun kelebihanmu baik di bidang mata pelajaran, bidang kesenian, kriya dan olah raga ataupun yang lain. Untuk para pelajar SMA, koordinirlah adik-adikmu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah yang ada di sekitar tempat tinggalmu. Salurkan motivasi positif sehangat mentari pagi. Dukung dan arahkan sesuai minat bakat. Niscaya dusunmu akan TERCERAHKAN bila terisi pemuda-pemuda sepertimu. Memang tak mudah, tetapi kita tak boleh menyerah. Tak ubahnya ibu saat ini, juga dalam proses belajar. Mencari ilmu bermodal sabar dan telaten. Niat baik...niat baik...niat baik...pasti akan dimudahkan. Hanya dengan ilmu kita dapat menang, mengisi dan menjaga negeri. Untuk perubahan pastikan mulai dari diri sendiri. Apakah anakku berdiri di PULAU itu?
KATAKAN YA....
Pulau berkumpulnya pemuda-pemuda pembawa perubahan. Buat lingkungan bahagia dengan hasil karyamu. Untuk membuat bahagia orang lain tak perlu dengan upaya seberat bongkah batu gunung.
MAU BUKTI?
Coba lihat kerikil ini, memang hanya kecil.....kita lempar jauh ke sungai. Riak air akan berpendar di sekelilingnya. Seperti itu pula dampak aksimu....Tebarkan sedikit yang kau mampu. Niscaya kau akan seperti kerikil kecil tadi. Berbagi...membahagiakan orang lebih banyak lagi. Dalam gulir waktu anakku pasti akan menemukan banyak KUNCI di sepanjang jalan. Ambillah mungkin akan berguna dikemudian hari, bukan diwaktu engkau menemukannya. Kunci itu berupa pelajaran, hikmah atau apapun. Nah....ibu yakin, setelah kau menjadi mahasiswa pasti akan berkepribadian tangguh. Siap menjaga negeri dengan ilmu yang berbingkai ahklaq mulia, mampu menjaga harga diri. Menjadi pengisi dunia maya, bukan sekedar mengkonsumsi. Kita harus jadi pelaku, ambil yang positif dan hadirkan karyamu, buah pemikiranmu. Tulis...tulis...tulis...untuk dibaca...baca...baca...banyak orang. Kita generasi tangguh tak akan menyerah, terus maju pantang mundur. Hidup Pemuda Plambongan. Yuk, ikuti proses belajar ibu selanjutnya bersama ibu Ninik selaku Dukuh di Plambongan, bapak Bejo selaku RT dan sepuluh ibu-ibu penambang pasir di sungai Progo.



Ibu Ninik selaku Dukuh di Plambongan dan bapak Bejo selaku RT beserta ibu-ibu penambang pasir yang saya hormati. "Satu tim ini ada sepuluh orang ya bu...".
Terlebih dahulu kita panjatkan puji sukur atas perkenanNYA kita dapat berkumpul pagi ini. Karena ada keperluan lain, bapak Bejo tidak dapat menemani acara ini sampai selesai. Terimakasih bapak Bejo, tadi juga sudah ikut bersama turun ke sungai. Baiklah kita lanjutkan, tadi sudah kita dengarkan bersama rangkaian kata buat anak-anak tersayang. Semoga kita termasuk orang tua yang punya waktu untuk memperhatikan, menjaga kebersamaan dan menjalin komunikasi dengan buah hati. Sebagaimana kita tahu, hanya dalam keluarga yang hangat akan tumbuh generasi mandiri, santun dan berbudi pekerti. Luangkan waktu dan curahkan kasih sayang untuk mereka.

SAKARANG SAAT ANAK-ANAK YANG MENDENGARKAN KITA.

Untuk anak-anak tadi yang perlu ditumbuhkan adalah semangat belajar. Bagi kita sebagai orang tua tentunya lain. Karena di pagi yang cerah ini berada di sungai Progo, yang perlu kita tumbuhkan adalah menjaga keasrian lingkungan, kebersihan dan kelestariannya. Sebagaimana kita tahu sungai ini sumber rejeki bagi sebagian masyarakat sekitar. Terlebih dahulu harus disampaikan bahwa saya tidak punya keahlian dibidang ini. Apa yang saya lakukan semata-mata hanya hobi, ya...senang saja. Ibarat cinta ke ujung dunia pun tetap kan ku cari. Tak ubahnya pagi ini, jauh dari Tamantirto kecamatan Kasihan saya sudah berada di Plambongan untuk mengadakan acara ini. Yuk kita saling bercerita tentang lingkungan semampu kita. Nanti kalau ada hal-hal yang tak mampu kita bahas, bisa kita tanyakan pada ahlinya. Mungkin bisa saya mulai dari ibu-ibu yang memang mata pencahariannya menambang pasir di sungai ini. "Coba apa manfaatnya bu...?". "Ya, silakan dijawab".
"Menghidupi, tak ada pasir tidak dapat uang, tidak belanja, tidak bayar sekolah dan tidak nyumbang".
"Ha...ha...ha...,sedemikian berarti sungai Progo dan pasirnya ya...bu...". Mari bersama kita jaga kebersihannya dengan cara membawa pulang kembali sampah yang kita bawa saat pergi bekerja ke sungai. Umpama ibu membawa bekal roti yang dikemas dengan kantong plastik dan minuman dalam botol plastik. Seyogyanya dibawa pulang kembali tidak dibuang di sekitar sini apalagi di sungai. Kelihatannya sepele ya...ibu, kecil...gampang. Tetapi tidak sesederhana itu, perilaku butuh tahapan panjang untuk berubah. Tetapi ingat seperti yang saya sampaikan pada anak-anak tadi, Ibu bersepuluh saat ini berada di pulau perubahan. Mulai dari diri sendiri, cukup ambil satu kerikil....lempar jauh, riak air akan berpendar. Memotivasi banyak orang, alhasil lusa lingkungan lebih bersih dari hari ini. Semua ciptaanNYA bila diperlakukan dengan baik pasti akan memberi yang lebih baik pula. Lingkungannya lestari asri dan pasirnya pun selalu ada untuk dimanfaatkan warga sekitar. "Oh ya, ini ada tas gombal atau tas dari kain yang ramah lingkungan, silakan dibagi satu-satu. Bisa ibu manfaatkan untuk memulai mengurangi pemakaian plastik. Karena plastik tidak mudah terurai, saat tubuh kita sudah kembali menyatu menjadi tanah, plastik tetap tidak hancur. Silakan ibu Dukuh untuk menyampaikan sepatah kata. "Saya mendukung kegiatan pada pagi hari ini. Semoga kedepan masyarakat lebih peduli menjaga lingkungan khususnya kebersihan sungai Progo, sekecil apapun yang dilakukan pasti sangat berarti untuk jangka panjang".

"Nah, sekarang dilanjutkan dengan berbincang santai,monggo ibu...silakan menyampaikan pengalamannya masing-masing".
Dapat saya simpulkan, mereka pejuang tangguh di malam hari pun berani pergi ke sungai demi mencari nafkah. Ada yang sudah hamil delapan bulan masih berani menambang pasir di sungai tidak takut bayinya lahir saat bekerja. Mereka tim solid yang melengkapi kekurangan satu sama lain untuk tercapainya tujuan. 
.

Terimakasih tiada tara kepada ibu Ninik selaku Dukuh dan bapak Bejo selaku RT beserta ibu-ibu.
Tak lupa terimakasih pada Beta Studio. Acara ditutup dengan doa.


Sunday, February 12, 2017

BBM 7 Kandang Roboh Tertiup Angin



 








Rencana BBM 7 menulis tentang Suatu Hari Di Sungai Progo Saat Air Pasang ternyata wajib saya tunda dulu. Ada tulisan yang lebih mendesak untuk ditayangkan.

KANDANG ROBOH TERTIUP ANGIN

Sepulang kerja aku berkunjung ke rumah Bapak Mulyo Rejo di Godegan RT 3 Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Tepatnya di belakang SMPN 2 Srandakan. Rumah sederhana itu kira-kira hanya berjarak limapuluh meter dari Sekolah Menengah Pertama tersebut. Keluarga kecil dengan satu putri bernama mbak Dalijem usia 46 tahun.Bapak Mulyo Rejo sudah berusia 83 tahun dan istrinya Ibu Mujinah berusia 71 tahun. Setelah mengobrol kesana kemari beberapa waktu, aku pamit pulang.

Jum'at siang tanggal 10 Pebruari 2017 membuat pikiranku menerawang dimalam hari, aku harus datang lagi diesok hari. HARUS....YA....HARUS. Sabtu siang tanggal 11 Pebruari 2017 kembali bertemu Bapak Mulyo Rejo sekeluarga. Aku pertama bertemu keluarga ini saat Ibu Mujinah rawat inap di Rumah Sakit pada bulan Desember 2005. Beliau operasi haemoroid kronis dengan biaya gratis karena beberapa waktu sebelumnya dimuat di koran Kedaulatan Rakyat sebagai orang yang layak mendapat bantuan.

Sejak itu mbal Dalijem yang berprofesi sebagai penjual pakaian keliling juga mengambil dagangan dariku. Ditahun 2012 berangsur aku berhenti jualan, mbak Dalijem pun tidak mengambil dagangan dari aku lagi. Dagangannya mulai sepi karena sering libur. Kedua orang tuanya pun sering sakit-sakitan yang harus ditunggui. Beralih profesi menerima seterika dari beberapa tetangga. Ganti lagi buka warung sederhana, tak bertahan lama karena harus mendahulukan perut yang lebih cepat bernyanyi saat lambat dalam menyapanya.Dagangan habis, yang tersisa hutang adanya.

Tiup angin kencang beberapa hari lalu telah merobohkan KANDANG KAMBING kesayangannya. Apalah daya, dua ekor kambing dewasa dan seekor kambing remaja terpaksa bobok di kandang sementara, terletak disamping rumah. Bapak Mulyo Rejo bingung, dengan apa harus membangun kembali kandang yang rusak. Ingin jual batang pohon kelapa paling hanya akan laku LIMARATUS RIBU. Ingin jual KAMBING, aahhh......NANTI PUNYA KANDANG TAPI TIDAK PUNYA KAMBING.
Pilihan simalakama yang belum terjawab dan hanya berujung pusing disertai nafas  terengah - engah.

Ijinkan dalam kesempatan ini, aku menyampaikan informasi  tentang keluarga yang baru menerima ujian kurang secara materi. Tetapi mereka kaya akan budi pekerti, keluarga jujur dan dapat dipercaya. Sudah sejak tahun 2005 aku mengenalnya. Sekiranya ada diantara kita yang berkenan membantu misal sebesar DUAPULUH LIMA RIBU RUPIAH X 80 ORANG AKAN TERKUMPUL DUA JUTA RUPIAH.
Jumlah yang diangan  Bapak Mulyo Rejo sudah cukup untuk membangun kembali kandang robohnya.

Semoga pembaca ada yang berkenan membantu dan dapat diberikan langsung pada alamat yang sudah tercantum diatas. Semua sebatas usaha, semoga

 



Wednesday, February 8, 2017

Busur Belajar Menulis 6

lanjutan BBM 6
SUATU HARI DI SUNGAI PROGO SAAT AIR SURUT
Minggu pagi 18 Desember 2016



















Dingin embun pagi setelah subuh tak menyurutkan rencanaku untuk berangkat ke Pedukuhan Plambongan Kalurahan Triwidadi Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Ayo nak, antar ibu meliput kegiatan ibu-ibu penambang pasir di Sungai Progo ya...."
"Siap ibu, aku yang membawakan biolanya". Jawab putraku.
Dreenn...dreenn...dreenn...Supra butut mengantar kami berdua menuju Plambongan. Kira-kira limabelas kilo meter dari rumah. Berangkat dari Pedukuhan Ngrame Tamantirto Kasihan Bantul selatan UMY dan ALMA ATA. Melewati Gua Selarong, tempat bersejarah bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Setelah sampai di sentra Kerajinan Batik Pijenan Pandak Bantul, belok kanan lalu kiri lurus terus. Sampai ketemu Plambongan yang menjadi tujuan, belok kiri dan berhenti dibibir Sungai Progo.

Sangat menakjubkan, baru pertama kali ini aku turun menyusuri sungai yang sedang surut.
"Awas licin bu...hati-hati".Kuikuti komando dari ibu-ibu penambang pasir. Karena air sedang surut, aku dapat melenggang ke bagian badan Sungai Progo. Telapak kaki beradu langsung dengan kerikil di sepanjang bentang Sungi Progo. "Asyik, satu kata yang mewakili perasaan ini"

"Anakku, tolong rekam kebahagiaan pagi ini dengan video sebisamu".
"Ibu...,aku tak mau ikut dalam rekaman itu".
"Baiklah, ibu-ibu saja ditambah bapak dan sapinya yang sedang dimandikan di sungai".
Aku dapat saling bercerita tanpa mengganggu pekerjaan mereka.

Mereka satu tim kerja yang berjumlah sepuluh orang. Membawa peralatan sebagai berikut :
1.Ban besar
   Ban ini digunakan sebagai pelampung.
2.Ekrak
   Ekrak seperti permadani empat persegi panjang yang dibagian tepi dibingkai dengan bambu dan
   disetiap sisi dilebihkan ukuran ujung bambunya. Ini berfungsi sebagai tempat tangan berpegangan
   saat akan menuang pasir ke daratan. Ekrak ditumpangkan di atas ban besar.
3.Irig
   Irig berupa anyaman kawat tidak beraturan yang dibingkai dengan bambu berfungsi untuk
   mengayak pasir setelah diserok pakai senggrong.
4.Eseg
   Eseg adalah alat terbuat dari besi ditengahnya seperti lajur kawat yang tersusun rapi. Ini berfungsi
   untuk menyerok bebatuan kecil dari sungai, sehingga butiran kerikil dengan ukuran yang tidak di
   kehendaki akan jatuh lagi ke sungai. Bebatuan berukuran sedang ini disebut Glondo atau Bantak.
   Jadi bila pasir baru sulit dicari maka penambang akan mencari glondo atau bantak yang harga
   jualnya jauh lebih murah daripada pasir.
 
5. Senggrong
    Senggrong adalah alat terbuat dari besi yang berlubang kecil-kecil. Ini berfungsi untuk menyerok
    pasir  dan airnya jatuh kembali ke sungai karena penampangnya berlubang.
 
6. Gathul
    Gathul sesekali digunakan untuk menyibak bebatuan kecil yang penampangnya menutupi pasir.
    Karena terkadang tampak tidak ada pasir, tetapi setelah penampang bebatuan itu disibak dengan
    bantuan gathul ternyata dibawahnya ada timbunan banyak pasir.

LANGKAH KERJA
1.Ban besar diturunkan ke sungai dalam posisi mengapung.
2.Ekrak diletakkan diatas ban besar sambil dipegang dua orang.
3.Senggrong dipegang dua orang berpasangan dengan dua orang yang pegang irig.
   Setelah pasir diserok kemudian dituang diatas irig, diayak baru kemudian dituang diatas ekrak.
   Empat orang lainnya melakukan hal yang sama tetapi di lokasi yang berbeda. Jadi yang bergerak
   menyesuaikan posisi adalah yang bertugas memegang ban besar. Ini dilakukan oleh penambang
   yang lebih mahir renang karena bertugas membawa ban besar yang diatasnya sudah penuh pasir
   untuk dibawa ke tepi sungai. Dituang ditimbun sampai ada pembeli yang datang. Kalau nasib
   lagi mujur, sudah truk yang menunggu untuk dipenuhi pasir. Langsung dapat uang untuk belanja.

Demikian peralatan dan langkah kerja penambang pasir.
Foto diatas saya ambil hari sabtu tanggal 12 Pebruari 2017 antara jam 14.00 sampai jam 14.45 saat mendung sesekali diikuti gerimis sehingga hasil gambar kurang jelas.

Serumpun bunga Puyang menarik perhatian, tampak merah segar yang tidak kita temukan di kota.
Tanaman perdu tersebut tumbuh tak jauh dari bibir sungai Progo. Daunnya bisa digunakan untuk makanan ternak. Di sekelilingnya penuh dengan hamparan rumput nan hijau.

Sebelum belok ke Plambongan anda akan melewati dulu kawasan yang baru banyak pengunjungnya.
Namanya Ngantru disebut TAMAN BELANDA, hati-hati karena samping jalan cukup curam. Para penggemar olah raga sepeda santai biasanya singgah Taman Belanda sekedar selfie dan menikmati
minuman yang dijual dilokasi tersebut. Duduk sambil minum santai dibawah pohon raksasa dengan
menghadap pemandangan sungai Progo nun jauh dibawah sana.

Sampai bertemu di BBM 8
SUATU HARI DI SUNGAI PROGO SAAT AIR PASANG  ( BANJIR )
Senin pagi 16 Januari 2017