Monday, April 9, 2018

BBM 17 BELAJAR MENULIS (jalan-jalan 6 hari)



Senin, 22 Januari  s/d Sabtu, 27 Januari 2018
Mimpi menjadi penulis akan tinggal mimpi bila tak dimulai. Aku luangkan waktu sepuluh hari cuti kerja untuk lebih fokus belajarku. Dua hari untuk di rumah, enam hari berikutnya untuk berburu ilmu dan dua hari sisanya untuk istirahat. Namanya belajar tentulah aku belum piawai dalam menuangkan ide, merangkai kata untuk mudah dipahami apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan. Pernah baca entah dimana aku lupa, bahwa tulisan itu bisa runut disusun dari awal, tengah hingga akhir. Atau dibalik dari cerita akhir, tengah dan baru awalnya. Bisa pula disusun secara acak awal akhir tengah, tengah akhir awal, tengah awal akhir atau loncat-loncat sesuka penulisnya.
Teori itu hanya bisa dilakukan oleh penulis yang sudah mahir. Aku ibaratkan seperti penari balet yang bisa meliak-liuk kesana-kemari tanpa hambatan. Sedang aku? Senam lantai pun pernah diusia Sekolah Dasar, sekarang mah senam batu, apalagi tari balet... Kalau bicara ibarat, anggap saja aku sebagai pemanjat pohon kelapa, bukan penari balet. Jangan bayangkan ibu memanjat pohon kelapa dengan memakai jarik atau kain panjang ya, ini hanya perumpamaan. Andai aku sudah sampai diatas dan siap memetik pun harus berpikir lagi. Kelapa mana yang boleh aku petik? Yang tua, setengah tua, muda, setengah muda atau yang mulai berbentuk buah?
 Buah kelapa tua disebut juga klopo kiring yang mengandung banyak santan, biasanya untuk membuat minyak goreng atau memasak yang memerlukan santan kental seperti gudeg Yogya juga aneka masakan Padang. Tentu aku tak boleh memetiknya. Kelapa kiring cara memperolehnya dengan dipetik dan langsung dilempar kebawah begitu saja. Ibarat tulisan yang dirangkai oleh pakarnya, saat ada yang melihatnya pasti akan memungut dan segera membacanya.
Buah kelapa setengah tua disebut juga klopo semrundeng. Yaitu buah kelapa yang tidak tua tetapi juga bukan kelapa muda sehingga sudah agak keras dan bisa diparut. Hasil parutannya lebih lembek, bisa digunakan untuk membuat serundeng yaitu lauk kering yang terbuat dari parutan kelapa semrundeng dengan bumbu bawang merah, bawang putih, ketumbar, garam yang ditumbuk halus kemudian disangrai. Bila aroma bumbu sudah tercium sedap, masukkan parutan kelapa setengah tua dan sangrai terus sampai kering. Jangan lupa tambahkan daun salam dan lengkuas sebagai pemantap rasa. Lauk serundeng ini tahan lama dan lebih sedap lagi bila ditambahkan daging. Masih banyak lagi kegunaannya untuk membuat aneka makanan. Cukup satu saja ya contohnya, karena yang sedang kita bahas bukan aneka jajan pasar/makanan tradisional tetapi tentang proses belajar menulis. Bukan ini pula yang aku petik. Ibarat tulisan, meski bukan ditulis oleh suhu, tetapi tetap karya senior yang sudah banyak peminat.
Buah kelapa muda disebut juga degan. Kalau ini nggak asing kan? Banyak dijajakan di pinggir jalan sebagai minuman segar yang dicampur aneka rasa sirup atau rasa original dengan gula tebu maupun gula kelapa. Menurut mitos, perempuan yang baru hamil muda dianjurkan untuk minum kelapa muda agar bayi yang dilahirkan nanti kulitnya kuning bersih. Mau percaya enggak ya? Bagaimana bila ibunya seorang negro? Mungkin maksudnya bayi lahir dengan kulit bersih halus, bukan kuning bersih. Kelapa muda juga bukan pilihan untuk aku petik. Ibarat tulisan bukan ditulis oleh senior tetapi hasil karya junior yang sudah terlatih. Karyanya variatif kekinian banget. Coraknya bagai anak muda yang baru naik daun banyak yang gandrung kepadanya. Adanya dinanti dan ketiadaannya akan dicari, bak segarnya es kelapa muda di terik siang hari.
Buah kelapa yang mulai berbentuk buah disebut juga bluluk. Bluluk yang masih kecil bisa sebesar genggam tangan balita dan belum bisa dimakan. Dulu sewaktu aku masih kecil pernah dengar makanan yang disebut rujak bluluk, namun sampai sekarang belum pernah makan yang namanya rujak bluluk. Paling-paling bluluk yang jatuh dan urung menjadi buah, digunakan untuk permainan anak-anak pada waktu itu. Caranya dengan menusukkan lidi ditengah pangkal bluluk, kemudian ambil gelang karet dan putuskan gelang karet tersebut. Kaitkan satu sisi ujung gelang karet pada lidi dan talikan kuat sebagian. Nah, sisa gelang karet yang masih menjuntai ( nglewer ) angkat keatas, bluluk akan berdiri tegak, putar berirama kekanan terus atau kekiri terus sampai karet berpilin. Lalu angkat posisi keatas meninggalkan alas lantai, maka bluluk itu akan berputar terus sampai karet gelang yang berpilin lurus kembali. Sekilas info mainan tradisional jaman dulu. Tentunya juga bukan bluluk yang aku petik, akan sayang karena belum bisa dimakan. Biarkan bluluk tumbuh lebih besar lagi untuk bisa diambil manfaatnya.
Buah kelapa setengah muda disebut juga cengkir. Ukurannya lebih kecil dari kelapa muda dan isi cangkang tempurungnya masih banyak airnya daripada lapisan buah. Biasanya lapisan buah masih sangat tipis dan bisa jadi masih berbentuk lapisan lendir bening. Lambat laun lendir bening itu akan berubah menjadi putih tebal yang disebut daging buah kelapa muda. Saat sudah menjadi kelapa muda, volume airnya masih penuh dan  rasanya berubah lebih manis dan segar.
 Nah, aku memilih pada posisi ini. Kala aku menyatakan punya cita-cita menulis, saat itulah aku mulai memanjat pohon kelapa. Meski tak mudah, aku tetap berusaha naik keatas untuk memetik buah cengkir. Karena pohonnya tinggi, aku memilih melepas meninggalkan sandal japit, bakiak ataupun theklek yang aku pakai sebelum mulai memanjat. Tanpa asesori alas kaki, dengan kesederhanaan dan tak malu bertanya pada siapapun yang terkait proses belajarku, aku terus berusaha naik keatas. Saat naik keatas, aku jadi teringat peribahasa Jawa “ KEBO NYUSU GUDEL “ ( kerbau menyusu pada anak kerbau yang dalam bahasa Jawa disebut gudel ) yang artinya orang tua berguru pada kawula muda, anak-anak yang lebil muda. Harap jangan dibayangkan seekor induk kerbau yang sedang memanjat pohon kelapa ya..., karena itu akan mempersulit proses memanjat ibu. Sekurus ini pun tak mudah untuk memanjat, apalagi seginak-ginuk tubuh induk kerbau.
Sesampai diatas, saat tangan sudah mudah memegang buah kelapa, aku masih harus memilih lagi. Mana yang sesuai dan boleh aku ambil? Cengkir...cengkir...cengkir...kenceng ing pikir. Teguh dalam menggapai cita-cita, teruuusss...majuuu...pantaaang...munduuurrr... Aku petik sebutir cengkir dan tetap ada dalam genggam tanganku. Tidak boleh aku lempar kebawah layaknya orang memetik buah kelapa tua atau klopo kiring. Karena kalau dilempar cengkir akan pecah. Pecahnya cengkir ibarat proses belajar yang berhenti di awal langkah. Aku tak mau itu terjadi. Aku tetap akan berusaha menulis apa saja semampuku, dengan harapan akan ada manfaat dikemudian hari, sekecil apapun. Pelan-pelan aku turun dari pohon kelapa dengan tangan kanan tetap memegang cengkir. Selamatnya cengkir sampai ke bawah, ibarat proses menjaga istiqomah dalam belajar. Lambat namun pasti, golek ilmu kudu telaten. Allah pasti memberi hasil dari suatu rentang usaha dan ichtiar.
Nah, selanjutnya akan aku tulis perjalanan BULANG ibu petualang selama enam hari. Aku tulis runtut saja dari hari pertama sampai hari ke enam sebagai bahan belajar menulisku. Untuk foto pendukungnya bisa dibuka di IG tamanbarokahbusur, supaya menulisnya cepat dapat selesai dan selanjutnya belajar menulis lagi dengan topik yang lain.

Liburan hari pertama
SENIN, 22 JANUARI 2018 - Apotik Indoprima
Sreett..., sreett..., sreett..., jalanan di Yogya sangat padat di pagi hari. Pukul 6.50 sudah duduk di bus Mustika menuju kota Magelang. Semalam pukul 2.00 baru tidur, menyelesaikan tulisan di blog BBM 15 dan BBM 16 pesanan cito Nafis Husna tentang mainan tradisional dan batik Exotik. Pukul 8.15 masuk terminal Magelang, pinginnya di bus tadi tidur tapi hilang rasa kantuknya. Eman-eman lama tidak lewat jalur ini kalau hanya dilewatkan dengan tidur. Ganti naik bus kecil menuju Parakan. Ceesss..., hati terasa anyes sedingin udara Parakan, ada rasa nyaman mau bertemu kawan lama. Pukul 9.30 sudah sampai di pasar, banyak penumpang turun. Woow..., Pasar Legi bagus sekali, besar, tingkat lagi. Baru dibangun rupanya, masih baru.
“Bu, Apotek Indoprima sebelah mana ya?” langsung tanya pada orang yang baru lalulalang. “Apotek? Eeemmm sebelah mana ya? Coba ibu berjalan lurus lalu belok kanan. Ku ikuti google map berjalan tadi, kok nggak sampai-sampai ya? “Pak...pak..., Apotek Indoprima sebelah mana ya? “Itu bu, rumah yang tingkat. Sudah tampak dari sini, tinggal jalan lurus saja, bagunan ada disebelah jalan” tuturnya. Aku bergegas jalan lagi, itu dia sudah dekat, lho...? kok namanya lain? Aku putar balik lagi. Ku ikuti mbakyu yang berjalan searah, mosok kali ini akan gagal lagi. “Mbak Apotek Indoprima meniko sisih iring pundi njih”. Tampak ragu jawabnya,”Waah mriki kathah, sebelah mriko kados wonten kalih. Cobi nitih dokar mawon”. Hehehe... belum berhasil pula, mau sampai mana kalau naik delman, capet-capet aku masih ingat letaknya hanya di sekitar pasar, tidak jauh. Penjual gorengan yang bersanding es dawet itu rasanya memandang aku yang wira-wiri, sekalian tanya lagi aahhh. Ternyata betul petunjuknya, hanya butuh waktu tujuh menit aku sudah sampai di Apotik yang sedari tadi ku cari.
“Selamat siang, bisa bertemu Tante? Saya dulu karyawan disini” tak langsung dipersilakan masuk. Maklum lama nggak bertemu, tentu ada yang berubah, pangling. “ Eee mbak, kok hanya sendiri, mana suami dan anak-anak? “ sapanya ramah. “ Saya sendirian tante, silaturahmi disini sebentar lalu lanjut ke bla...bla...bla...” penjelasanku komplit. Setelah minum dan istirahat sebentar, tante mengajakku ke pasar untuk makan soto yang kesohor sejak jaman dulu, diwariskan turun temurun. Kusus cerita warung soto ini, akan aku tulis lain waktu saja. Tante tidak ikut makan, aku menikmati soto sendirian. Dengannya aku sudah bertemu tiga kali ini, pertama saat anak pertamaku masih balita. Kami singgah sekeluarga setelah jalan-jalan ke Wonosobo. Kedua sekeluarga berempat dengan kedua anakku di lebaran 2012 setelah menginap di hotel Wonosobo. Ketiga hari ini ketika aku jalan jalan sendiri.
 “Mbak, ayo pilih oleh-oleh untuk dibawa pulang”, sapanya lagi sambil mendekati aku yang sudah selesai makan. Melihat mangkok yang ludes bersih serta segelas teh panas yang bocor,tante berujar lagi, “ Tambah lagi mbak, tahu bacemnya kok masih utuh? “. Aku jawab, “ Aku kan ndemenakke nak disuguh, semua habis bersih. Sudah cukup kenyang, nggak sanggup lagi makan tahu bacem yang gede banget. Bukan menolak rejeki, tapi perjalanan baru dimulai, repot membawanya”. “ Ya sudah ini krupuk mentah saja yang tak mudah remuk dan awet “, tambahnya tetap ingin memberiku sesuatu. “ Njih..., maturnuwun “. Kami berdua berjalan pulang menuju apotek.
Aku lalu pamit jalan-jalan sendiri ke pasar, mengambil beberapa gambar suasana pasar saat ini setelah direhap. Eehhh... sebenarnya aku ingin mampir lagi di warung soto lezat tadi. Ada sesuatu yang ingin aku lihat, foto jaman dulu seorang ibu berkebaya yang sedang berjualan soto. Bingkai foto itu ada di dinding tembok yang bersebelahan dengan kompor dibawahnya. Aku minta ijin untuk memotretnya. Cerita soto ada di BBM berikutnya saja, supaya tak berkepanjangan untuk cerita hari ini. Setelah cukup putar-putar pasar, aku kembali lagi ke apotek.
Sampai di apotek aku bertemu dengan bapak Nur Yasin Sahur, apoteker sejak jamanku dulu, masih awet muda, usia sudah enam puluh tahun. Beliau yang membimbing kerja ku untuk pertama kali. Aku lalu numpang mandi. Lanjut foto bersama keluarga apotek Indoprima. Mau pamit melanjutkan perjalanan, eee... diharuskan makan lagi bersama tante di ruang atas. Lanjut pamit untuk menuju kebun teh Bedakah.
Jalan kaki sampai pojok pasar lalu naik angkot menuju Bedakah. Lalulintas cukup ramai, bersamaan dengan anak-anak pulang sekolah. “ Pak, nanti saya turun KABELUKAN ya, saya mau menuju kebun teh BEDAKAH “, pesanku pada kondektur angkot. “ Ya bu, masih cukup jauh dari sini “, jawaban yang melegakan, aku berharap dia tidak lupa. Kalau sampai kebablasen, aku pasti akan bingung nanti. Dalam perjalanan berkali-kali aku mengingatkan untuk turun di KABELUKAN. “ Bu, nanti turun di ..... saja yang ada ojeknya “ katanya menyebut nama tempat yang asing dan aku tak mengingatnya. “ Nderek mawon mas, asal tetap sampai tujuan di BEDAKAH “, jawabku setuju. Makin ke atas gerimis hujan mulai turun. “ Jangan lupa ya mas, saya mau turun KABELUKAN, mau ke BEDAKAH “, aku mengingatkan. Lagi-lagi yang aku ingat hanya KABELUKAN, bukan nama tempat .... yang disebutkan mas kondektur tadi. Tiba-tiba ada salah satu penumpang yang nyeletuk,” KABELUKAN ya depan situ, ibu sudah harus siap-siap turun. Nah, tuh ojeknya juga ada, ibu turun sini sekarang “. Penumpang lain memberiku jalan keluar, pelan-pelan aku turun. Ku lihat mas kondektur sudah tidak mampu meyakinkan jalan alternatif pilihannya, anjuran penumpang itu rupanya lebih meyakinkan bahwa aku harus turun. Sekilas ku lihat tatap iba mata mas kondektur saat aku turun. Tak tahu apa maknanya, yang pasti aku berterimakasih padanya, “ matur nuwun njih mas “.
Gerimis menyertai langkahku saat menginjakkan kaki di KABELUKAN. Lebaran tahun 2012 kami sekeluarga juga pernah sampai disini bersama suami dan kedua anakku. Rencananya juga mau ke BEDAKAH, tapi waktu itu jalannya tampak bebatuan terjal semua. Tidak seperti tahun 1987 saat pertama aku datang ke BEDAKAH. Maka kami urung belok dan melanjutkan perjalanan ke tempat yang lain. Aku ucapkan salam pada beberapa tukang ojek yang baru nongkrong. “Pak, saya mau ke kebun teh BEDAKAH, ada yang bisa mengantar saya? Tapi ini gerimis, saya harus beli jas hujan dulu, dimana ya yang jual? “ “Itu bu, di seberang jalan yang juga jual pulsa”, jawab seseorang. Aku menyeberang untuk beli jas hujan. “Ada jas hujan bu? Sekalian beli pulsanya”, tanyaku pada ibu yang berjaga. “Ada bu, atas bawah delapanribu rupiah”, jawabnya sambil mengasuh anak. Baju atasnya sudah aku pakai, saat akan memakai celananya, “ wreekk...wreekk “, sobek. Maklum harganya juga hanya segitu. “ Bu, ini celananya ganti saja lagi “, aku terima celana baru yang disodorkannya sambil berucap, “ ibu nggak rugi nanti”. “ Nggak bu, silakan pakai saja “. Saat aku pakai “ wreekk...wreekk “, sobek lagi. Tak apalah darurat untuk sementara. Aku kembali menyeberang menuju pangkalan ojek.
“ Mas, saya mau ke kebun teh Bedakah. Tigapuluh tahun lalu saya pernah menginap disana tapi lupa di rumah siapa. Hari ini saya pingin menginap disana lagi. Insya Allah nanti kalau sudah sampai disana ada yang bisa saya tumpangi untuk menginap semalam. Sekaligus  minta nomer HP-nya, nanti sewaktu-waktu saya perlu ojek, bisa menghubungi “, kataku membuka pembicaraan. Beberapa orang yang ada disitu tampak berembuk lalu, “ Saya yang antar bu, nanti pertama ibu menuju pos Satpam. Biasanya tamu yang datang harus lapor dulu, apa lagi yang dituju tidak jelas, nanti ikuti saja saran dari satpamnya. Ini dua nomer HP saya”, sabil menyodorkan sesobek kertas. Sebelum weerr..., saya berpamitan dulu pada yang lain, “ Pareng lan matur nuwun njih sedoyo “, weerr... Serentak mereka menjawab, “ Njih bu, hati-hati diperjalanan...”.
Aku melangkah memulai perjalanan, lho...jalannya kok jelek, ooo mungkin di awalnya saja, nanti lama-lama kan ketemu jalan halus, gumamku dalam hati. Tambah melaju tambah seru, akhirnya tak sabar pula untuk bertanya cari kepastian kondisi jalan. “ Mas ini baru mulai perjalanan, bagaimana kondisi jalan berikutnya? “, tanyaku cemas menanti jawaban. ‘ Ya begini terus bu sekitar tiga kilometer, nanti tiga kilometer berikutnya sudah aspal halus sampai ke pabrik teh BEDAKAH “, jawabnya tenang tak sebanding dengan dag...dig...dug hati ini.
Ooo..., jadi teringat kondektur angkot tadi, pantas dia tidak merekomendasikan aku turun di KABELUKAN. Jalannya cukup untuk uji nyali, apalagi untuk orang yang tidak biasa lewat disana, ditambah usianya sudah setengah abat. Yang aku rasakan  lebih seru dari lava tour Merapi, ini lebih jauh... nggak sampai-sampai, sesekali mata pilih terpejam untuk mengurangi cemas dan rasa takut terpeleset. Ya sudahlah, sudah niat harus sampai tujuan. Ini agenda perjalanan yang harus aku lalui, tahap berikutnya tinggal pasrah sepanjang jalan kurajut berpilin doa nyuwun slamet sampai tujuan. Jegagik... kaget banget, ada sepeda motor muncul dari gang sebelah kanan jalan tiba-tiba. Untung tidak tertabrak, meski dalam perjalanan tidak banyak berpapasan dengan sepeda motor, namun truk sebagai gantinya. Ternyata sepeda motor memang lewat jalur lain yang tidak rusak. Sambil bergoyang di jalan bergelombang, aku sempatkan untuk bertanya, “ Mas rumahnya mana, nanti kalau saya tidak dapat penginapan, apakah boleh menginap di tempat tinggal njenengan? “. Deg..deg..deg.. menanti jawaban,” Boleh saja bu, silakan. Rumah saya di desa sebelah sana, ibu bisa telpon pada nomer yang sudah saya berikan “, sahutnya sambil tangan kiri menunjuk desa yang tampak di lembah sebelah sana. Waduhh..., jauh juga rumahnya dari kebun teh BEDAKAH, beda desa. Aku nikmati sensasi rasa lewat jalan yang kental-kentul tak beraturan, tak terlupakan tegangnya. Bagi tukang ojeknya tentu tak bermasalah, itu lokasi yang biasa ia lewati.
Nah..., lega...sudah tampak jalan aspal didepan sana. Meter demi meter terlewati, sampai juga di atas jalan aspal, tarik nafas panjang.... lebih ploong... Beberapa rumah mulai tampak, melewati banyak bunga yang tumbuh berserak di kanan kiri jalan. Melaju terus dan akhirnya sampai di Pos Satpam. Ku ucapkan salam pada bapak satpam yang jaga, mas ojek masih menunggu beberapa waktu. “ Mas matur nuwun sanget, sudah ketemu pak satpam, saya bisa ditinggal. Nanti kalau ada perlu lagi, saya akan telpon panjenengan, matur nuwun mas “, itu bincang terakhir dengan mas ojek setelah menemani saya menyampaikan maksud dan tujuan pada pak satpam.
Tinggal saya berdua dengan bapak satpam yang berbaju putih, namanya lupa. “ Ibu, coba saya sampaikan dulu pada teman saya yang lebih senior, tunggu disini saja sebentar “, aku hanya mengangguk sambil melepas jas hujan. Aku tadi sampai di pos satpam pukul 14.45. Agak lama aku menunggu, sambil membenahi barang bawaan yang sudah beranak satu. Semula hanya tas gendong berisi lap top, pakaian dll plus  tas cangklong tempat mukena. Sekarang menjadi tas gendong ditambah tas tenteng panjang yang berisi tas cangklong mukena, kerupuk mentah, aqua dan beberapa roti basah dari tante di Parakan. Katanya untuk bekal di jalan kalau lapar dan haus.
Monggo bu, sugeng rawuh... ada yang bisa saya bantu? “, pak satpam senior sudah datang, kalau tak salah namanya bapak Kuat. “ Perkenalkan pak, nama saya ibu Suroso, tigapuluh tahun yang lalu saya pernah menginap disini, kalau tak salah teman itu bernama mbak Susi. Tujuan saya, pingin menginap semalam di BEDAKAH untuk melihat pabrik dan jalan-jalan di perkebunan teh. Saya baru belajar menulis, nantinya pengalaman perjalanan selama enam hari akan menjadi bahan tulisan. Juga silaturahmi pada keluarga mbak Susi, seingat saya rumahnya tidak jauh dari kantor yang ada jembatan melengkungnya, sisi sebelah kanan dari jembatan itu. Nah, keperluan saya sekarang mencari rumah yang boleh untuk singgah nunut ngliyep semalam. Ada tidak ya, rumah ibu-ibu pemetik daun teh yang dekat sekitar sini? Saya perlu numpang menginap. Atau di rumah siapa saja yang sekiranya boleh, menurut bapak bagaimana? “, ku lihat beberapa saat pak Kuat malah terdiam. Jangan-jangan aku dikira penampakan disore hari. “ Ooo... njih... njih... njih...”, jawabnya singkat lalu diam lagi.
Mungkin penjelasannku kurang meyakinkan. “ Pak Kuat, mungkin bapak merasa aneh dengan kehadiran saya. Pertama bapak harus percaya, saya bukan penampakan lho. Kaki saya juga menginjak tanah, baju juga basah karena kehujanan. Atau bapak merasa aneh karena saya pergi seorang diri? Yang aneh bukan berarti tak mungkin pak, insya Allah saya pergi atas Ridho Allah, selanjutnya atas ridho suami juga sebongkah doa dari kedua anak saya. Bisa jadi saya dianggap seorang ibu yang baru bermasalah dan lari dari rumah untuk hengkang sak karepe dewe meninggalkan keluarga. Bisa pula timbul pertanyaan, kok suaminya mengijinkan? Perjalanan enam hari yang saya mulai saat ini, di Parakan tadi pagi kami sekeluarga juga pernah silaturahmi ke sana, di BEDAKAH ini saya juga pernah menginap. Sebenarnya masih ada foto yang saya simpan saat berdiri di jembatan melengkung tigapuluh tahun lalu sebagai bukti saya pernah kesini, tapi tidak saya bawa. Lebaran tahun 2012 kami sekeluarga juga sudah sampai di KABELUKAN mau menuju BEDAKAH tapi urung karena jalan tampaknya tidak mudah dilalui. Perjalanan selanjutnya akan menginap di rumah mertua dan adik ipar. Jadi saya tetap dalam pantauan keluarga pak...”, urai panjangku sambil tersenyum sebijak mungkin agar kali ini meraih hasil, bisa dipercaya pak satpam.
“ Aahhh... ibu ini ada-ada saja, tapi memang betul saya merasa aneh, baru kali ini saya ketemu seperti ibu yang bepergian seorang diri. Apalagi usianya sudah setengah abad, hanya selisih beberapa tahun lebih muda dari saya “, ceesss... semilir angin pegunungan, lega tampaknya pak Kuat mulai percaya. Hari bertambah sore diiringi rintik hujan, aku harus segera dapat penginapan. “ Baiklah bu, di RT lima ada janda namanya ibu Sarti. Coba nanti ibu kesana, saya kira tidak keberatan untuk ditumpangi menginap semalam. Sebelumnya ibu ke ketua RT lima dulu, namanya bapak Budiman, bagaimanapun juga ibu sebagai pendatang seyogyanya lapor. Rumah Pak Lurah  juga dekat dari sini, ada gapura belok kanan. Langkung prayogi malih menawi sowan Pak Lurah “, semua anjuran pak Kuat aku catat. Aku pamit dan terima kasih berat pada pak Kuat. Jas hujan atas saja yang ku pakai, yang bawah sudah tambah lebar sobeknya hehehe... .
Ternyata usia memberi rasa beda dalam langkah, agak ngos-ngosan. Mungkin juga efek dremimil meyakinkan pak Kuat tadi, meski bawa aqua tak sedikitpun pingin minum. Yang ada dalam benak hanya dua kata, TIDUR DIMANA? Ada gapura aku belok kanan dan berhenti di rumah biru kanan jalan. Tampak sepi, aku ucap salam tetap sepi. Aku duduk ndeprok di teras sambil melipat jas hujan. Selang beberapa lama di seberang jalan ada bapak-bapak yang menyapa, “ Sudah ketemu belum bu? Masuk saja... orangnya ada di rumah kok, tidak pergi “, aku anggukkan kepala sambil menjawab, “ Njih pak matur nuwun “. Aku ketuk pintu lagi, masih sepi. Wah harus sembunyi nich, supaya tidak terlihat bapak-bapak tadi. Aku sabar menanti sampai pintu terbuka. Hehehe... aku duduk nglemprok lagi terlindung tiang teras yang kokoh besar. Nggak boleh berdiri, nanti tampak dari seberang jalan.
Beberapa lama kemudian aku ucapkan salam lagi dan ada yang menjawab dari dalam. Seorang ibu muda keluar menyapa dan mempersilakan masuk, aku mohon duduk di luar dulu saja, pakaian masih agak basah. Aku sampaikan maksud dan tujuan komlit. “ silakan masuk duduk di dalam saja, bapak baru istirahat “, aku masuk ke ruang tamu ditemani teh panas dan jajanan. Pada Pak Lurah segera aku sampaikan komplit lagi termasuk saran-saran saat ketemu pak Kuat. “ Ini EKTP saya dan ini foto suami saya “, aku buka foto berdua dengan suami yang ada di HP. “ Saya ikuti saran Pak Lurah, tidur dimanapun tidak masalah. Besuk pagi pingin jalan-jalan ke kebun, sukur boleh melihat pabrik. Sekalian mencari kawan lama saya yang bernama mbak Susi, dulu bapaknya punya usaha tembakau, orangnya gagah dan senang memakai topi lebar model koboi. Sorenya saya  pamit untuk melanjutkan perjalanan liburan sampai hari sabtu.
Deg...deg...deg...lagi, apa ya saran Pak Lurah? Berhasilkah aku menginap di rumah bu Sarti? Apakah aku juga jadi ke rumah pak Budiman sebagai ketua RT lima? Hayo pembaca...silakan tebak. Penasaran? Pinisirin? Mau cepat pingin tahu? “Ibu...,ibu sekarang baru melakukan perjalanan, ibu sebagai musyafir dan sekarang bertamu di rumah saya. Sudah kuwajiban saya memuliakan tamu, tamu insya Allah membawa Rahmat dan Malaikat pun mengiringi perjalanan seorang musyafir. Silakan bermalan di rumah kami, seadanya ya bu...”, glek, mendengar jawaban yang sama sekali tak aku sangka. “ Bapak, saya jadi sangat terharu, tak menyangka akan menginap di rumah ini, semudah ini “, eksprresi jujurku menerima keterkejutan diantara rintik gerimis diluar sana. Dari Pak Lurah juga aku dapat keterangan bahwa yang aku cari bernama mbak Lusi bukan mbak Susi.
Bu Lurah keluar dan kami bertiga berbincang di ruang tamu. Aku dipersilakan istirahat di ruang atas menempati kamar putra keduanya yang masih duduk di Sekolah Dasar. “ Nanti maaf kalau agak ramai bu, ada keponakan saya dari semarang dan satu temannya yang juga menginap disini. Mereka kuliah di UNDIP, sedang magang di wilayah ini. Kamar mereka ada di seberang kamar ibu “, cukup mengangguk lega, Karunia Allah lewat Pak Lurah sudah sangat lebih dari cukup. Apalagi tadi gerimis masih rintik-rintik, kalau harus jalan lagi cari penginapan...huuuu...sedih. Sorenya langsung boleh ikut BU Lurah yang akan pengajian di rumah Bapak Pemimpin Unit Perkebunan Bedakah. Pengajian tersebut untuk ibu-ibu. Saat mau selesai Pak Lurah menjemput. Pada kesempatan tersebut aku sangat bersukur, dengan didampingi Pak Lurah dapat bertemu langsung dengan Bapak Pemimpn Unit Perkebunan Bedakah meskipun tidak dalam suasana formal. Waktu sudah hampir magrib, namun aku sempat menyampaikan sekilas maksud perjalananku. Besuk pagi akan jalan-jalan di sekitar pabrik, bukan di pabrik. Kami pamit untuk pulang di rumah Pak Lurah. Puji sukur atas semua kemudahan ini, kok ya pas ada pengajian, kok pengajiannya juga di rumah Pemimpin Unit Perkebunan, Alhamdulillah.
Magrib sampai di rumah Pak Lurah. Lagi-lagi bersukur, kemana-mana aku naik supra butut, sore ini nunut mulyo naik mobil empuk yang aku tidak punya. Mandi, makan malam sambil berbincang lalu duduk di ruang tamu menulis sebagian perjalananku tadi pagi. Aku masih asyik menulis sementara yang lain sudah menuju kamar masing-masing untuk istirahat. Tak lupa sebelumnya menanyakan letak tombol saklar lampu yang harus aku matikan. Aku matikan laptop, kemas-kemas lalu mencari tombol saklar lampu. Cetat...cetet...beberapa kali, tidak langsung benar lampu mana yang harus dimatikan. Aku berjalan menuju dapur, naluri seorang ibu pingin mencuci piring dll. Aku berdiri mematung beberapa lama, cuci nggak ya?... cuci nggak ya? Kalau aku cuci pasti kedengaran bunyi klunthang-klunthing mengganggu yang sudah tidur. Kalau aku cuci, belum tentu berkenan pada tuan rumah, statusku tamu. Akhirnya aku putuskan untuk tidak cuci piring, naik tangga keatas menuju kamar yang sudah dipersiapkan.
Di kamar aku kemas-kemas barang memisah pakaian bersih dan kotor, nah sudah mulai punya cucian nich. Berebah di lantai yang beralas karpet warna coklat. Melihat di samping kiri atas ada layar TV, nggak tahu cara menghidupkan. Di rumah hampir nggak pernah lihat TV, sesekali saja kalau suami menghidupkan TV aku ikut melihat. Di samping kanan ada tempat tidur empuk tempat istirahatku nanti. Kethap-kethip...kethap-kethip...teringat banyak kejadian sedari pagi. Terlebih pada Bapak sepuh dari Wonosari teman sebangku di bus Mustika menuju Magelang. Beliau turun di tempat yang lebih dekat untuk melayat kerabatnya yang meninggal dunia. Uang yang Beliau bawa untuk bayar bus adalah selembar seratus ribuan warna merah, uang kembaliannya belum ada, “ Pak, biar saya sekalian saja yang bayar “. “ Njih matur nuwun sanget “, bla...bla...bla...plus untai doa panjang untukku. Terima kasih pak, doa dari bapak pasti juga berperan dalam kemudahan perjalananku. Mata mulai mengantuk, segera tidur untuk bangun pagi dan jalan-jalan di kebun teh. Ambil jarik [ kain panjang ] baru yang sengaja aku bawa untuk selimut di perjalanan supaya ringkas membawanya. Aku ambil bantal satu dan tidur di lantai yang beralas karpet tebal. Bagiku sudah lebih dari cukup, bahkan lebih...fasilitas yang aku peroleh. Aku tak berani tidur di kasur, takut angler dan kesiangan bangunnya. Sebelum mata terlelap teringat suamiku, maaf pasti menunggu kabar, maaf disini tidak ada sinyal di HP ku. Maaf...maaf..., aku tutup mata dengan rasa syukur dan doa.

Liburan hari ke dua
SELASA, 23 JANUARI 2018 - KEBUN TEH BEDAKAH - WONOSOBO
Pagi bangun langsung mandi, turun ke bawah ketemu Bu Lurah di dapur, “ ada yang bisa saya bantu Bu? “. “ Sudah selesai bu, anak-anak siap berangkat sekolah “, jawabnya. Putri yang sekolah SMP dan putra yang masih SD sudah berpamitan. Terakhir si bungsu yang masih TK diantar Bu Lurah. Aku menunggu Pak Lurah untuk pamit siang nanti, “ Pak Lurah, saya mohon pamit siang nanti. Kalau siang nanti Bapak sudah kondur dari kantor, ya saya bisa pamit lagi. Tapi kalau belum kondur, saya sudah pamit pagi ini. Terimakasih atas banyak nikmat yang saya dapat di keluarga ini meski hanya semalam. Nanti sekitar jam satu siang saya pamit untuk mengikuti jadwal perjalanan selanjutnya ke Pasar Tradisional Pencil, ke musium LIPI dll. Nanti untuk menuju jalan raya saya bisa telpon ojek yang kemarin mengantar. Insya Allah keluarga ini mendapat balasan yang berlipat dan berlimpah. Mohon maaf bila ada sikap dan kekurangan dari arah manapun yang kurang berkenan “. “ Sami-sami bu, kapan ada waktu silakan singgah lagi disini. Sugeng tindak mugi lancar sedayanipun kados ingkang ibu angenaken “, jawab Pak Lurah yang sudah siap berangkat kerja. Aku pamit jalan-jalan dulu di sekitar kebun teh.
Dengan doa kubuka segarnya jalan-jalan pagi ini. Dari gapura aku belok kiri menapak jalan turun. Ada gang kecil sebelah kiri, aku ikuti jalan itu ternyata sampai di kuburan. Foto-fotonya bisa buka di IG tamanbarokahbusur ya... Ini aku tulis lagi caption di IG. Rumah masa depan sebagai inspirasi semangatku. Akankah masih lama menuju kesana? Besuk, besuknya lagi atau besuk besuk besuknya lagi? Akankah nanti masih ada yang mengingatku? Atau hanya suamiku? Atau hanya kedua anakku? Atau si anu, si ana, si ani, si ano? Aahhh.... itu bukan tujuan untuk aku tahu. Eemmm.... jadi teringat tulisan di buku yang pernah aku baca. Disitu tertulis kalimat bernuansa sangat rendah hati, “ Buku meniko karanggit dening tiyang ingkang cubluk “. Aku lupa judulnya, tapi berisi ilmu rohani penyejuk hati. Beliau tak ingin menampakkan jati diri. Lalu kembali ke aku. Aku hanya ingin istiqomah belajar dengan bermohon doa, semoga nantinya ada yang dapat diambil manfaat walau hanya setitik debu di ujung jarum.
Dari kuburan aku putar balik lewat jalan yang terlewati tadi. Sepanjang jalan sering disapa orang di sekitar, mungkin terlihat aneh ya. Orang asing bukan warga dusun itu, jalan-jalan pakai tas gendong tapi kok hanya sendiri, biasanya kalau ada kunjungan pun serombongan, tidak seorang diri. Rupanya ini kemudahan yang sudah dipersiapkan Allah. “ Badhe tindak pundi bu? Monggo mampir pinarak “, sapa seorang bapak. Aku jawab, “ Badhe mlampah-mlampah Pak, kulo tamunipun Pak Lurah “. Nah selanjutnya jawaban yang sama aku ulang-ulang setiap ada orang yang bertanya. Bertemu seorang ibu yang baru berdiri di halaman, “ Mau kemana bu, silakan mampir, monggo bu...monggo “. Aku mengangguk dan duduk berbincang bersama di ruang tamu, di dalam juga ada seorang anaknya. Ibu itu berdiri mau ke dapur sambil berucap, “ Sebentar bu mau buat teh panas dulu “. Tidak kalah cepat aku menjawab, “ Maaf bu, nggak usah buat minum. Kalau boleh saya mau numpang kamar mandi saja bu. Udara sangat dingin, saya mengurangi minum agar tidak cepat ke kamar mandi bu “. Alasanku masuk akal, urung dibuatkan minum. Gantinya lebih nikmat yaitu rasa lega setelah buang air kecil. Matur nuwun bu, telah memanggilku disaat yang tepat. Setelah beberapa lama pamit untuk meneruskan jalan pagiku.
 Di pertigaan belok kiri turun menuju Pos Satpam yang kemarin sore aku singgah pertama kali. Aku ucapkan salam sambil minta ijin,” Pak, saya kemarin sore sudah singgah disini, semalam menginap di rumah Pak Lurah dan sorenya juga ikut Bu Lurah pengajian di rumah Bapak Pimpinan Perkebunan ini, acara pengajian ibu-ibu. Saya minta ijin untuk jalan-jalan di sekitar pabrik dan perkebunan ini ya pak “. Dijawab dengan sangat sopan,” Ibu, kalau hanya jalan-jalan silakan, tetapi kalau pingin masuk di dalam pabrik harus ijin di kantor, nanti bisa saya antar. Dan biasanya tamu yang datang juga berombongan, dari instansi “. Aku jawab dengan senyum, “ Baik pak, ijinkan saya untuk jalan-jalan saja tidak masuk pabrik kok “.
Jalan lempang lurus ke depan melewati danau, lalu sampai di kantor yang ada jembatan kecilnya. Berhenti dan teringat tiga puluh tahun lalu aku berdiri di jembatan kecil itu, Desember 1987. Nah itu ada orang lewat, “ Mbak, bolehkah saya minta tolong foto sebentar? “. Rupanya dari belanja di warung, “ Ya bu silakan, mau di sebelah mana? “. Setelahnya kami jalan beriringan, “ Mbak, apakah kenal yang namanya bu Lusi? tiga puluh tahun lalu saya pernah menginap di rumahnya. Dulu bapaknya suka memakai topi koboi yang lebar. Seingat saya rumahnya hanya di sekitar sini “. Dia memandangku sejenak, “ Ooo..., jadi ibu temannya bu Lusi, kami masih bersaudara dan rumahnya ada di sebelah sana, ayo sekalian saya antar. Ibunya ada di rumah, kalau bu Lusinya sudah ikut suami dan tinggal di desa lain “. Dalam hati aku bergumam, heemmm...mudahnya Alhamdulillah. Rumah itu belum berubah, aku masih mengenalnya. Bertemu ibu dari ibu Lusi yang juga tidak berubah, seramah dulu. Setelah berbincang beberapa lama, aku diajak sarapan lagi.  Sarapan ke dua yang tak boleh aku tolak, teringat dulu saat berombongan dengan teman-teman menginap di rumah ini. Terima kasih ibu, sangat bersukur bisa bertemu pagi ini semoga silaturahmi bisa tersambung lagi. Lewat bu Lusi nantinya ku harap bisa bertemu pula dengan dua temanku yang lain, teman satu kos dan satu kamar. Mohon pamit dulu ibu, sampai jumpa lain waktu.
Aku melewati Pos Satpam lagi, berjalan lurus sampai bertemu hamparan kebun teh di sekitarnya. Sebelah kanan ada bangunan terbuka dan besar, tampak duduk seorang bapak berseragam biru. Ibu-ibu berseliweran mengangkut pucuk daun teh yang baru saja dipetik. Ah...ada rasa sungkan kalau mau langsung kesana, tetap berjalan lurus mengikuti ibu pemetik daun teh yang ada di depanku. “ Ibu...,ijin jalan-jalan mengikuti ibu ya, pingin tahu caranya memetik pucuk daun teh “, sapaku mengenalkan diri. “ Silakan bu, dengan siapa ibu kesini? Kok sendirian dan ada keperluan apa? “, ganti aku yang ditanya. “ Saya memang hanya sendiri, pingin menikmati segarnya alam Bedakah, juga ingin berkenalan dengan ibu “, jawabku sambil tersenyum semanis mungkin, jangan-jangan ada maunya nich... . Cuaca daerah pegunungan tidak menentu, kadang berkabut, kadang hujan rintik ataupun cerah. Pagi ini cuaca cerah, aku dapat santai jalan menyusururi kebun teh tanpa payung. Hampar kebun teh yang tertata rapi, aku berkesempatan mengikuti langkah para ibu pemetik daun. Nah..., kesempatan minta tolong nich, “ Bu, bolehkah saya pinjam capingnya dan sekalian tolong fotokan? “. “ Saya tidak bisa bu, nggak pernah pegang Hp “. “ Tidak apa-apa bu, pasti bisa, coba lihat ini...paskan gambar saya dan tekan bagian ini “, harus merayu ibu itu, aku butuh dokumentasi. Klik, jadilah foto memakai caping berselendang kerudung biru dikelilingi hampar kebun teh. Di kejauhan tampak pohon-pohon menjulang tinggi berlatar belakang cuaca yang cerah. “ Waahhh... ibu pinter, maturnuwun bu, hasil fotonya bagus kok “, ibu itu tampak senang dan terlihat masih ada yang akan di ucapkan. “ Bu, ayo ikut saya ke Pos pengumpulan daun di seberang sana. Nanti saya pinjami keranjang dan gunting untuk foto lagi. Itu ada Pak Mandor, minta tolong dia saja supaya hasil fotonya bagus “, woow...saran yang bagus, aku mengikuti instruksinya.
Menyeberang dengan bersemangat, sebagaimana semangat ibu yang berjalan di depanku sambil menggendong hasil kerjanya pagi ini. Segarnya pucuk daun teh, sebagaimana segarnya isi hati ini, bebas lepas menikmati kebesaran-Nya lewat hamparan ayat-ayat alam di pagi cerah.  Sampai di seberang aku ucapkan salam pada semua yang beraktivitas disana. “ Kranjange sopo yo sing lagi nganggur sisan sak guntinge, ibune iki disilihi ben nggo foto. Niku bu, nyuwun tulung Pak Mandor mawon sing cetho saget “, wah..wah..wah..ibu ini memang pembawa nikmat berupa kemudahan ya, aku belum sempat cari cara minta tolong, dia sudah mendahului. Dia meminta pada kawan-kawannya yang keranjang dan guntingnya lagi tidak dipakai untuk dipinjamkan. Dan menyuruh saya untuk minta Tolong pada Pak Mandor. Ya otomatis lah Pak Mandornya langsung mendengar sendiri tanpa saya memintanya. Setelah bincang-bincang sejenak pada semua yang ada disitu, tibalah saatnya saya didandani ala seorang pemetik daun. Aku ikuti instruksi dari Pak Mador yang memilihkan lokasi dan cara memetik pucuk daun teh segar. Uhuuiii..., tanpa diminta bibirku terus saja tersenyum, aku merasa lebih muda sekian waktu, semuda pucuk daun teh segar yang aku petik. Senenge Koyo wong ora nduwe utang, koyo wong ora nduwe sanggan. Seperti orang yang tak punya hutang, seperti orang yang tak punya beban. Kilas balik soal hutang dan beban, Insya Allah ku mohon kemudahan diganti dengan selalu berbagi sesuai kemampuan. AMIN. Terimakasih Bapak, tak lerlupakan bantuannya. Terimakasih ibu-ibu atas pinjaman caping, keranjang, gunting dan sambutan hangatnya. Pamit dulu ya, sampai jumpa dilain waktu.
Jalan-jalan pagi di BEDAKAH, mencari arah suara gemercik air. Woow...ada air terjun di balik semak. Bening...jernih...sedingin es. Sebelum sampai ke air terjun, akan melewati pepohonan yang banyak kupu-kupu beterbangan aneka warni sambil mencium bunga. Tak hanya kita yang menyukai musik, kupupun menghisap sari bunga sambil menikmati irama alami air terjun di sebelah rimbunan pohon. Hari sudah beranjak siang, aku pulang sambil sesekali mengambil gambar beberapa bunga berserak yang banyak di sekitar jalan.
Sampai di rumah bertemu Bu Lurah dan ku sampaikan setelah mandi, mengemas barang lalu pamit melanjutkan perjalanan. “ Dahar dulu bu, seadanya “, wah aku diminta makan lagi nich. “ Maaf Bu masih kenyang, tadi pagi sudah sarapan dan di rumah bu Lusi diminta sarapan lagi, sarapan kedua Bu “, selorohku. Aku ceritakan pada beliau kalau berhasil mampir rumah bu Lusi dan bertemu dengan ibunya. Setelah siap semuanya, aku tinggal menunggu di ruang tamu. Seorang kerabat Pak Lurah akan ke Kretek Wonosobo, aku akan diantar sampai tempat naik bus kecil. Berdua dengan Bu Lurah foto di depan membelakangi teras rumah, yang tampak pemandangan asri perkebunan dan pegunungan dari kejauhan. Mohon pamit Bu Lurah, terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan. Semalam serasa menginap di hotel. Semoga Tuhan membalasnya dengan berlipat njih Bu, Barokah sedayanipun, nikmat yang selalu bertambah, luber tiada tepi. Nah itu mas guru datang, saatnya ku tinggalkan tempat penuh kesan ini. Beberapa kerabat ada di depan rumah, aku pamit pada semuanya. Matur nuwun sampai jumpa di lain waktu.
Yang aku tumpangi ternyata guru SD, namanya juga tidak ingat. Melewati jalan yang beda dengan yang aku lalui kemarin, bukan lewat KABELUKAN. Meskipun bukan aspal, tapi sudah tersusun bebatuan yang rapi, meliak-liuk turun bukit. Kala jalan berkelok curam, berkali-kali aku bilang, “ Ibu turun saja dulu njih mas? “. Jawabnya selalu, “ Tidak usah bu, tak apa-apa tenang saja.”. Memang lebih tenang tak secemas lewat KABELUKAN. Sesampainya di jalan raya aku turun, terima kasih mas telah mengantar ibu, semoga amal kebaikan diganti dengan kemudahan untuk cita-cita dan harapan mas guru selanjutnya. Sampai jumpa pada kesempatan yang berbeda.
 Sesuai pesannya, aku menyeberang dan naik bus kecil menuju suatu tempat yang aku lupa mencatat namanya. Saking senengnya langsung dapat bus tanpa antri, tarip lima ribu rupiah aku bayar sepuluh ribu. “ Sudah mas, nggak usah susuk “, kataku sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribu rupah. “ Matur nuwun bu “ , jawab kondekturnya sambil senyum. Eee... belum sampai tujuan semua penumpang disuruh turun, oper ke angkot lain. Sampai tempat yang dimaksud aku turun untuk selanjutnya menunggu bus kecil yang menuju Kecamatan Prembun. Bus yang menuju kesana baru ada pukul tiga sore. Duduk di sampingku mahasiswi salah satu Perguruan Tinggi di Wonosobo, ia mau pulang ke Karanganyar menunggu bus yang sama. Sambil menunggu itulah aku bertanya bagaimana cara posting di IG dan FB. Aku sebelumnya sudah belajar, punya banyak catatan, tapi selalu lupa dan lupa lagi. Dari mahasiswi cantik tersebut aku belajar posting di IG, belum bisa tersambung di FB. Tak apalah, selalu ada kesempatan belajar di sepanjang jalan dalam situasi apapun. Daripada hanya bengong menunggu bus yang masih lama. “ Busnya masih lama bu, silakan makan buah ciplukan ini dulu, saya memetiknya di sawah sebelah sana. Enak manis-manis asam bagus untuk kesehatan “, kata seseorang yang menghampiri aku. “ Njih pak matur nuwun “, jawabku sambil menerima dan memakannya.
Pukul tiga sore aku dan mahasiswi tadi menuju Kecamatan Prembun. Ternyata jauh dan lama. Lewat jalan yang lebih sepi dari jalan utama. Sekitar setengah tujuh malam baru sampai Prembun. Menunggu bus lagi yang menuju Purwokerto, kami berteduh di teras toko disela gerimis yang belum juga reda. Bus Mulyo menjadi pilihan karena tercepat lewatnya. Mahasiswi tadi sibuk menelepon keluarganya agar dijemut setelah turun dari bus. Katanya rumah kediaman masih masuk agak jauh dari tempat turunnya bus. Karanganyar lebih jauh daripada tempat yang akan aku tuju. Terima kasih mbak, telah menjadi kawan dalam perjalanan sedari sore sampai malam ini. Semoga selamat sampai tujuan, lain waktu berjumpa lagi.
 Aku turun di Tugu Kecamatan Kutowinangun, jalan ke arah stasiun kereta api. Turun dari bus langsung menyeberang dan jalan sekitar limapuluh meter sudah sampai di gerbang belakang rumah Almarhum mertua. Aku ucapkan salam pada kakak ipar yang tinggal di rumah itu. “ Pakde, ijin menginap semalam ya..., besuk setelah subuh antar saya ke Pasar Pencil untuk melihat beberapa kegiatan yang ada “, sebelumnya saya memang sudah merencanakan berkunjung ke Pasar Pencil. “ Woo... tak kiro ora sido, kok suwe ora ono kabar “, jawab kakak ipar. Dikira aku tidak jadi datang karena sudah lama tidak memberi kabar. “ Biasanya minggu pagi kalau tidak hujan juga bersepeda bersama teman-teman, tapi kalau hujan ya libur “, jelasnya kemudian. “ Besuk pagi hujan tidak hujan tetap antar saya ya, nanti pulangnya bisa naik dokar “, akhir pembicaraan sebelum istirahat untuk melanjutkan perjalanan besuk.

Liburan hari ke tiga
RABU, 24 JANUARI 2018 - PASAR PENCIL DESA TEGALREJO KECAMATAN PONCOWARNO KABUPATEN KEBUMEN
Pagi pukul lima lebih lima menit menuju Pasar Pencil diantar kakak ipar. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari rumah mertua. Pukul lima lebih dua puluh menit sudah sampai tujuan, kakak ipar pulang dan aku jalan-jalan sendiri. Masih agak gelap, pedagang mulai berdatangan, suasana sekitar pasar masih sepi. Pertama yang aku amati adalah rebung besar siap jual. Rebung atau tunas dari bambu. Yang muda bisa dimasak dan dimakan. Yang tua menjadi batang bambu kokoh. Digunakan untuk aneka keperluan : tiang rumah, dianyam menjadi gedheg untuk dinding rumah, untuk usuk atap rumah, untuk pagar rumah, untuk kayu bakar dll. Rebung tadi diperoleh di pereng tepi hutan. Pembeli membayar pada yang punya pereng dan mengambilnya sendiri. Kemudian dibawa ke pasar untuk dijual lagi. Tidak semua rebung enak dimakan. Rebung dari pring [bambu] petung yang enak dimasak. Informasi ini seperti yang dituturkan oleh bapak Sukir penjual rebung dari desa wisata Jembangan.
Woow ada yang jual daun enceng gondok yang biasa tumbuh di sawah dan sungai, satu ikat seribu rupiah. Disayur oseng-oseng, tambahkan petai dan rese sebagai penyedap. Rasanya mantap, waktu Sekolah Dasar aku pernah mencari di sawah bersama teman-teman. Sampai di rumah dimasak bersama, bumbu paling mudah ya ditumis. Dilanjutkan makan bersama dengan nasi pulen yang panas ditambah lauk tempe garit [tempe kedelai yang digoreng garing]. Kebersamaan dan rasa enaknya tak terlupakan sampai setua ini. Kenangan masa kecil yang indah.
Di dekat tempat parkir ada beberapa penjual benih tanaman. Sebagian tetap berada di bak mobil terbuka. Ada juga penjual yang pakai sepeda motor, dagangan benihnya ditata diatas nampan kayu. Benih bayam, kangkung, cabai, pepaya, petai, terong, sawi dan lainnya tersedia disini. Belanjanya harus pagi ya, karena disini juga disebut pasar pagi, siang sedikit penjualnya sudah bubar.
Wee...ee...ee...ee..., di pojok sana ada tukang cukur yang praktek bersama. Kalau tulisan “ Dokter Praktek Bersama “ nggak asing bagi kita. Meski nggak ada palangnya tapi bisa kita sebut tukang cukur praktek bersama lho. Empat deret meja cukur beserta kursinya, masing-masing berhadapan. Jadi jumlahnya ada delapan set, dengan tukang cukur delapan orang. Nggak perlu antri lama dan cukup bayar murah, masih ditambah bonus full musik. Kebetulan bersebelahan dengan penjual kaset yang musiknya berkumandang terus sampai pasar bubar.
Selanjutnya menemui ibu Saryatun penjual minyak goreng dari buah kelapa. Dalam bahasa jawa, minyak goreng disebut juga minyak klentik. Bahasa Jawa kromo [halus] minyak disebut juga lisah. Bahasa Jawa ngoko [kasar] minyak disebut juga lengo. Lisah klentik = lengo klentik = minyak kelapa. Dalam logat Kebumen, kata lengo menjadi lenga. Lengo klentik = lenga klentik = minyak kelapa. Ibu Saryatun membuat minyak kelapa secara tradisional dalam jumlah banyak. Sekali memasak bisa memeras santan dari 200 butir kelapa. Dimasukkan dalam drum dan dipanasi memakai kayu bakar.
Ampasnya disebut kethak. Bahasa logat Kebumen menjadi kethek. Agak sulit menjelaskannya kalau hanya lewat tulisan, karena beda suara bisa menjadi berbeda artinya pula. Tapi saya tetap akan berusaha untuk menjelaskan. Membaca kata “kethak” dengan bibir bawah bergerak ke bawah secara santai, itulah arti kethak yang sebenarnya, ampas dari pembuatan minyak kelapa. Membaca kata “kethak” dengan bibir bawah bergerak ke bawah secara dihentak lebih cepat dan mulut terbuka lebih lebar, itu artinya dijitak kepalanya pakai tangan. Ini tidak boleh dilakukan, kita harus saling menyayangi, jangan saling jitak.
Bahasa logat Kebumen kethak menjadi kethek inipun harus hati-hati mengucapkannya. Kethak dan kethek sama-sama diucapkan dengan bibir bawah bergerak ke bawah secara santai. Tetapi bila kethek dibaca dengan menggerakkan bibir ditarik ke kanan dan ke kiri plus agak njewewek, maka artinya akan berbeda sangat jauh. Bukan lagi ampas kelapa tetapi “monyet”. Ini ujud aneka ragam kekayaan bahasa yang perlu dipelajari. Kembali pada kethek, bisa dibuat sambal atau dimakan dengan gethuk ubi jalar yang rasa tawar.
Minyak kelapa ada juga yang dibuat dengan cara lain, jumlah bahan bakunya lebih kecil. Misal santan kental dari sepuluh butir kelapa. Tuang dalam wajan besar, panaskan sampai terpisah antara minyak dan kethaknya. Setelah minyak disaring, kita dapatkan ampasnya yang berwarna coklat beraroma khas. Ampasnya bisa disebut kethak, bisa pula disebut blendo. Blendo bisa dibuat sambal atau untuk campuran daging saat membuat isi makanan tradisional lemper. Minyak goreng yang dibuat dengan cara ini bisa disebut juga minyak krengseng, rasanya lebih enak dengan aroma khas.
Beralih mendekati penjual gula kelapa, disebut juga gula Jawa atau gula merah. Nira dari buah kelapa disadap, kemudian dipanaskan sampai menjadi karamel. Karamel tersebut dicetak dengan menggunakan tempurung kelapa. Setelah dingin bisa dikemas untuk dijual. Pada foto di IG tampak daun pisang kering sebagai bungkus pertamanya sebelum dimasukkan plastik. Memang dahulu sebelum ada plastik, daun pisang kering juga digunakan sebagai bungkus. Daun pisang kering disebut juga klaras. Bila ada pembeli, gula kelapa akan ditimbang dahulu kemudian dibungkus dengan klaras baru dimasukkan plastik. Mengenai gula kelapa ini akan saya tulis lain waktu yang lebih lengkap dari proses memanjatnya sampai siap dijual.
Aduh mbah cantik nian dengan lipstik alami tanpa pengawet. Memakai kerudung ciput warna merah hati, bajunya kebaya warna hijau dan jarik [kain panjang]. Selendang batik warna merah hati semakin tampak serasi. Selendang itu untuk menggendong cething dari anyaman bambu yang didalamnya tampak kacang panjang dll. Bibir tipis nan merah bukan lipstik tetapi kinang. Simbah tersebut punya kebiasaan nginang, yaitu campuran selembar daun sirih diatasnya diberi sedikit injet [kapur yang sudah dijemekkan] dan sedikit buah pinang. Daun sirih lalu digulung dan dikunyah, maka air liurnya menjadi merah. Air liur yang merah disebut juga dubang [idu abang] artinya air liur yang berwarna merah. Air liur tersebut lalu diludahkan. Setelah meludah, sisa warna merah masih membekas di bibir, maka orang yang menginang seperti menggunakan lipstik. Kalau gadis jaman now mau menggunakan lipstik alami ini mungkin agak repot ya... Misal seorang mahasiswa yang kuliah di ruang tertutup, bagaimana bisa meludah disembarang tempat? Salah-salah nyemprot kena baju doi-nya. Wah bisa berabe, kinang tidak hanya membuat cantik, bisa jadi malah putus karena tersinggung tersemprot dubang. Ingat ya, kinang untuk membuat cantik dan menguatkan gigi, bukan untuk membuat status jomblo lagi.
Makanan tradisional CETHIL. Dalam bahasa jawa cethil artinya pelit, tapi yang sedang kita bahas adalah nama makanan tradisional ya. Makanan ini selain disebut cethil ada juga yang memberi nama cenil. Cethil dari tepung kanji. Cara membuatnya, tuangkan pathi di baskom. Tambahkan air mendidih lalu diuleni atau dilumatkan sampai kenyal. Bentuk sesuai selera misal seperti lontong. Lalu diiris dan rebus pada air yang mendidih. Setelah masak ditiriskan. Parut kelapa segar secukupnya. Buat juruh dari gula kelapa. Caranya rebus gula dengan sedikit air, masak sampai kental. Cara menghidangkan : Ambil beberapa potong cethil, taruh di piring kecil. Tambahkan parutan kelapa dan juruh, cethil siap disantap.
Makanan tradisional GOLAK. Dibuat dari tepung kanji ubi ketela pohon. Bentuknya macam-macam ada yang seperti angka delapan, ada pula yang seperti gelang kecil. Digoreng dan dimakan saat masih hangat lebih enak. Rasanya gurih kenyil-kenyil atau kenyal. Hati-hati untuk yang pakai gigi palsu karena bisa tertarik, copot saat menggigitnya.
Selanjutnya aku singgah pada pande besi tradisional, namun kakak ipar datang menghampiri bersama rekan Goes Club “Ora baen-baen” dari Kutowinangun. Aku foto sebentar bersama mereka. Matur nuwun Pakdhe, bakdo subuh langsung mengantar saya dan kembali lagi bersama rekan Goes Club. Namun mohon maaf poro sederek sedoyo...vidio pas mboten cetho amargi ngungkuraken sunar srengenge kang sinayungan wit-witan ageng. Pangapunten njih. Setelah mereka pulang, aku kembali lagi ke tukang pande besi.
PANDE BESI TRADISIONAL. Bertemu dengan bapak Toto dan adik sepupunya yang bernama bapak Purwanto. Pande besi ini dikerjakan secara turun temurun. Orangtua pak Toto berhenti menjadi pande besi pada usia lebih kurang 90 tahun. Hebat ya, orang jaman dulu staminanya kuat, mungkin juga karena pengaruh makanan yang dikonsumsi. Dulu budidaya pertanian masih banyak yang organik. Pak Toto belajar menjadi pande besi sudah sejak kecil. Tahun 1987 pernah kerja pada sebuah PT di Jakarta. Karena bangkrut, tahun 2004 memutuskan untuk mudik pulang kampung. Sejak tahun 2004 itu pak Toto mulai menjadi pande besi menggantikan orangtuanya.
Yuk kita belajar mengenal seluk-beluk tukang pande besi. Gambar lengkap ada di IG tamanbarokahbusur. Macam-macam alat yang digunakan :
1.         PARON untuk tatakan atau alas
2.         BODEM untuk memukul
3.         MARTIL KECIL untuk memukul
4.         BETEL untuk memotong
5.         KIKIR untuk mengikis dan merapikan
6.         GERENDA untuk mengikis dan merapikan. Jaman dulu sebelum ada gerenda cukup dikerjakan dengan kikir.
7.         BUMBUNG : terbuat dari bahan seng, fungsinya untuk memompa. Maka dipasang dua tongkat yang bisa naik turun, pangkal tongkat dipasang kelep karet, sehingga saat didorong turun, tidak ada rongga udara yang keluar, semua angin masuk ke bawah, prinsipnya seperti meniup... sehingga angin akan mengipasi bara arang yang ada di bawah. Api menyala semakin besar semakin panas. Irama memompanya harus stabil. Apabila tidak stabil maka panas tidak merata sama. Hal ini menyebabkan besi yang dipanasi tidak dapat ditempa. Kemahiran memainkan perasaan ini memerlukan pengalaman jam kerja. Sehingga proses memanasinya tidak perlu diulang-ulang.
8.         PENGARON terbuat dari tanah liat. Tempat wadah air untuk mencelupkan besi yang sudah dipanasi supaya turun temperaturnya sehingga cepat dingin.
9.         SUPIT atau CATUT BESAR untuk memotong
10.     BESI PENGUNGKIT untuk mengorek arang
11.     WAJA [tembaga] untuk dempul mengeraskan pacul
12.     KUNINGAN yang tampak di foto adalah sendok jaman dulu yang terbuat dari kuningan, ini fungsinya seperti waja, bisa dicampur.
13.     IJUK dan ARANG sebagai bahan bakar
14.     PECAHAN KACA ikut dicampur ketika mendempul. Fungsinya sebagai perekat [melengketkan] saat dipanaskan.
LANGKAH KERJA :
Umpama mereparasi cangkul [pacul]
1.      Cangkul dipanasi
2.      Dipotong [dibentuk] sesuai permintaan
3.      Digerenda pakai kikir
4.      Dipipihkan
5.      Didempul dengan waja [tembaga] atau kuningan, dicampuri pecahan kaca.
6.      Dipanaskan, campuran dempul akan meleleh dan menyatu.
7.      Cara memanaskan atau membakar, gunakan sabut supaya arang cepat menyala.
8.      Bumbung untuk memompa angin, panas harus stabil.
9.      Setelah selesai, cangkul dicelupkan di pengaron agar cepat dingin.
10.  Cangkul yang sudah direparasi siap diberikan pada pak tani.
            Jangan ditanya berapa upahnya? Pak tani hanya begitu saja memberikan uang ke tangan pak Toto tanpa melembarkannya sambil berucap, “ Iki yo... “. Pak Toto juga hanya menjawab, “ Yo wis “. Transaksi sangat sederhana, “ Ini ya... “ dijawab, “ Ya sudah... “. Kesimpulan yang saya yakini, nilai BAROKAH untuk saling menolong, podho mlakune [sama-sama jalan untuk mencukupi kebutuhan]. Cangkul petani dapat digunakan lagi dan pak Toto mendapat upah sekedarnya. Apakah hal serupa masih mudah kita temukan di kota?
            Waduuhhh... Pak Kusirnya keburu pulang. Aku dijemput saat masih ada di pandai besi. Pasar Pencil ini memang pasar pagi. Jam 8 sudah mulai sepi. Jam 9 sudah bubar. Pak kusir juga hanya mengangkut penumpang sekali lalu pulang. Sebenarnya ada beberapa dokar yang lain. Tapi aku memilih yang paling senior dalam usia. Jadi sebelumnya sudah aku bayar dulu agar tak ketinggalan dokar. Pukul 7.58 aku pulang naik dokar roda dua meninggalkan Pasar Pencil.
            Kebetulan ada penumpang lain bernama ibu Taslimah yang berprofesi sebagai penjual kelapa. Ibu Taslimah tinggal di desa Tanjungsari, usianya sudah 60 tahun tetapi masih tampak lebih muda. Sejak masih gadis sudah mulai belajar berdagang kelapa. Beliau harus sampai di pasar lebih pagi, membeli kelapa langsung dari yang punya. Kelapa kemudian dikumpulkan dan dijual pada pedagang yang lebih besar. Saat aku tanya apa suka duka menjadi pedagang kelapa, ini jawabnya : Saat kelapa mahal otomatis belinya juga sudah mahal tetapi masih bisa mendapat untung. Saat kelapa murah seperti sekarang ini, kelihatannya dapat membeli murah tetapi tidak jarang lakunya juga lebih murah, jadi rugi tidak dapat untung. Eee... kadang duitnya juga dihutang, lanjut bu Taslimah sambil tertawa renyah. Kalau kelapa baru langka, harganya akan mahal tetapi tetap akan laku, bisa dapat upah...tetap dapat untung, senang. Begitu tutur bu Taslimah sambil goyang-goyang naik dokar roda dua. Terima kasih bu, telah berbagi ilmu di pagi ini, belajar sepanjang jalan.
            Beralih belajar kehidupan pada pak Sungkono kusir dokar. Lahir tahun 1949, jadi usia sekarang sudah 69 tahun ya. Istri sudah meninggal, punya seorang putra angkat yang tinggal di luar kota. Sewaktu muda pernah merantau ke Sumatra bekerja di pabrik kayu balok selama limabelas tahun. Menikah di Sumatra, setengah tahun kemudian mudik dan menjadi kusir lagi. Penah merantau untuk kedua kalinya ke Sumatra, istri ditinggal di rumah. Mulai tahun 2000 mudik kemudian menekuni kembali menjadi kusir dokar dan tak merantau lagi. Pak Sungkono sudah beberapa kali ganti kuda berikut perangkat dokarnya. Dalam instagram dapat dilihat vidio bel dokar yang antik, bel akan berbunyi saat ditarik pemantiknya. Terbuat dari bahan kuningan dan bunyinya khas. Lampu unik juga dipasang disamping depan kanan kiri dokar. Dihidupkan bila jalan di malam hari. Dulu dengan senthir [pelita yang bahan bakarnya minyak tanah, dihubungkan dengan benang sumbu]. Sekarang sudah menggunakan lilin. Pada pintu dokar juga terdapat ornamen lukisan yang bercorak klasik. Terdapat juga pedal atau tempat pijakan penumpang untuk naik dokar roda dua ini. Dokar berhenti sejenak di depan masjid At-Taqwa Kauman Kuthowinangun Kebumen yang sudah direnovasi. “Hoop... hoop... hoop... Pak... nggak usah dikasih bonus, gerbang belakang itu berhenti”, aku turun di rumah mertua dan berpisah dengan pak kusir. Terima kasih pak, telah berbagi aksara di pagi ini, semoga umur panjang manfaat serta sehat selalu. Turun dari dokar sudah ada yang membukakan pintu, itu...tuu...yang tadi pagi goes sudah tiba di rumah lebih dulu dan membuka pagar belakang. Matur nuwun Pakdhe.
            Masih pagi, baru pukul 8.40 sudah sampai di rumah. Istirahat sambil posting di instagram catatan perjalanan yang sudah aku lalui. Malam diantar ke rumah adik ipar yang ada di Kebumen, hujan deras mengiringi laju mobil, sekitar setengah jam baru sampai tujuan. Setelah aku ucapkan salam, putra adik ipar bertanya,”Dengan siapa budhe? Bintang buatkan teh panas ya?”. Budhe dan Pakdhe adalah panggilan untuk sepasang suami istri dari keluarga yang lebih tua. Misal kebetulan suami saya anak nomor delapan, sedang yang saya kunjungi adalah adik nomor duabelas. Maka anak dari adik, akan memanggil kami dengan sebutan pakdhe dan budhe. Sebaliknya anak kami akan memanggil pasangan adik nomor duabelas dengan sebutan paklik dan bulik. “Nggak usah mas Bintang, biarkan budhe cuci baju, mandi lalu minum air putih dan es batu saja”, jawabku. Kebetulan adik ipar saya baru pergi. Selesai cuci baju dan mandi sempat uthak-uthik HP sebentar lalu tidur bleeg. Alhamdulillah sudah selesai agenda hari ini.

Liburan hari ke empat
KAMIS, 25 JANUARI 2018 - MUSIUM LIPI KARANGSAMBUNG KEBUMEN, BUKIT PENTULU INDAH dan JEMBATAN GANTUNG
            Waahh...pinginnya tulisan diblog lebih rinci daripada yang di IG, tapi kok tidak rampung-rampung. Tulis ringkas saja dan harus selesai. Pagi hari ikut istri dari adik ipar berangkat kerja di LIPI Karangsambung. Mampir dulu di rumah mertua adik ipar yang sudah tak berpenghuni. Hanya sesekali ibu mertuanya pulang ke rumah tersebut, beliau tinggal jalan-jalan singgah di rumah putra putrinya bergantian. Tas bawaan saya tinggal, sebelum berangkat sempat dikenalkan dengan tetangga terdekat. Siap memulai perjalanan liburan hari ke empat. Istri adik ipar mengajak ke pasar tradisional, info lengkap ada di IG. Lanjut ke Musium LIPI, dia langsung kerja dan aku mulai jalan-jalan sendiri. Pertama masuk ke Bengkel Bebatuan, lanjut ke Musium, mengelilingi taman yang tumbuh bunga beraneka warni. Info lengkap ada di IG ya..., lanjut keluar dari komplek kantor LIPI. Pembaca silakan berkunjung ke LIPI, banyak informasi yang didapat sekaligus mengagumi aneka bebatuan ciptaan-NYA.
Mampir ke toko beli air mineral dan makan jajanan dari pasar tadi. Aku duduk di lincak yang ada di samping toko, dari jauh tampak berjalan seorang ibu muda sambil omong sendiri. Ada rasa takut melihatnya, jangan-jangan orang gila yang akan mendekat padaku. Kulihat dia mengangkat tong sampah dan dituang disisi pojok toko. Ooo... mungkin pemulung yang kurang sehat pula. Ada seorang bapak keluar dari toko dan memberi rupiah pada ibu tadi. Aku ikutan memanggilnya dan minta tolong membuangkan daun pembungkus pecel dll. Dia menerima sedikit rupiah yang aku berikan. Diluar yang aku sangka, ibu itu merangkai doa yang panjang sekali untukku. Yang aku ingat beliau mendoakan keberkahan dan kesehatan. Maafkan aku ibu, telah berprasangka buruk. Engkau bukan orang gila, sebaliknya sebagai teman dalam perjalanan yang berkenan melantunkan doa tulus untukku.
Aku naik ojek menuju Bukit Pentulu Indah, sekitar satu kilometer bari Kantor LIPI. Karena ini berada di pedesaan, kekerabatan masih sangat terjalin. Termasuk tukang ojek yang mengantarku juga kenal dengan keluarga adik ipar, padahal letak rumah mereka berjauhan lain desa. Hal tersebut bagiku sangat menguntungkan, meski aku pergi sendiri tetapi tetap dalam pantauan orang-orang yang saling mengenal. Terhubung ke famili berarti juga terhubung ke suami yang belum sempat bersama dalam perjalanan kali ini. Sampai di Bukit Pentulu Indah tukang ojeknya pergi mencari penumpang lain dan janjian dijemput beberapa waktu kedepan.
Lagi-lagi info komplit ada di IG. Yang membuat terharu pada perjalanan kali ini, aku bertemu anak kecil yang mengikuti kemana aku jalan. Bernama Aris kelas dua SD. Yatim yang membantu ibunya menjadi pemulung. Aris mengumpulkan botol bekas air mineral dll yang bisa dijual. Ternyata pula Aris putra dari ibu pemulung yang aku temui sebelumnya. Bu Sikem namanya, meski keadaannya seperti itu, beliau sangat menyayangi kedua putranya. Ya... Aris masih punya satu kakak lagi. Menurut informasi, bapaknya meninggal beberapa tahun lalu karena sakit. Ibu Sikem mencari nafkah sebagai pemulung dan sangat mengutamakan asupan makan untuk kedua putranya. Hasil yang ia dapat pokoknya hanya untuk makan. Pantas saja Aris badannya sehat, pakaiannya juga layak. Menurutku Aris sangat santun dalam melayani orang lain. Berusaha mencarikan jas hujan untukku, meski tidak ada warung yang jual. Hujan cukup deras waktu itu. Ibu... gantian aku yang meronce doa untukmu, semoga ibu Sikem, Aris dan kakaknya diberi ketabahan dalam menikmati keterbatasan, semoga ada dermawan yang berkenan menjadi orang tua asuhnya. Dengan sekolah semoga nantinya memberi perubahan dan dihari tua nanti ibu Sikem lebih berbahagia bersama kedua putranya. Amiin.
Mas Saimin sudah datang menjemput, tepat waktu tanpa aku menunggu. Ya... layanan prima, service pada pelanggan. Betul juga, karena hujan belum reda kami berteduh di warung sambil menikmati pilihan yang ada. Aku pilih energen rasa jagung sebagai penghangat. Mas Saimin lebih senang menikmati rokok. Bersama pemilik warung kami membahas rencana perjalanan hari berikutnya. Ternyata mas Saimin belum pernah ke Embung Sadang sebagai agenda perjalanan besuk pagi, dari pemilik warunglah kami mendapat informasi yang lebih lengkap. Ringkas cerita, hari ini dan dua hari kedepan mas Saimin akan mengantar perjalananku. Informasi dari pemilik warung memperlancar perjalanan berikutnya. Hujan mulai reda, kami turun dari bukit Pentulu Indah dan mampir sejenak di hamparan bebatuan yang sangat indah. Menikmati kebesaran yang Maha Kuasa. Tak terkatakan dengan kata-kata.
Perjalanan hari ini diakhiri dengan melihat dari dekat Jembatan Gantung yang berada diatas sungai Lukulo. Kami hanya singgah sebentar karena ramai, sore hari banyak orang yang melewati jembatan gantung tersebut. Mas Saimin mengantar ke rumah tempat rencana menginapku dan janjian besuk pagi akan menjemput untuk menuju embung Sadang. Eee... belum sempat masuk ke rumah sudah disapa tetangga sebelah, “Bu menginap di rumah saya saja daripada hanya sendirian”. Tawaran yang menyenangkan , “Oohhh...begitu kah? Baik saya ambil dulu tas saya ya bu...”. Malam itu aku tidur di rumah keluarga mbak Egli. Dia ibu muda yang punya putra dua orang, masih Sd dan TK. Suaminya kerja diluar kota. Ada eyang putri dan juga kamas dari mbak Egli. Jadi kekuarga itu beranggotakan lima orang, namun saat saya tinggal disitu kamas mbak Egli hanya sesekali pulang. Malam ia tidak tidur di rumah tersebut.
Lagi-lagi saya mendapat kemudahan berupa nikmat dan kenyamanan. Bagaimana tidak? Keluarga ini rumahnya bersih sekali. Saat saya masuk, mereka baru mengelap meja kursi di ruang tamu, lalu jendela dan pintu. Bergegas mandi dan cuci baju, baru sadar ternyata celana panjang yang aku bawa hanyalah yang ada di badan. Celana satunya ada di jemuran rumah adik ipar di Kebumen, belum kering saat aku menuju LIPI Karangsambung. Harus cuci baju dan esok hari celana harus kering. Selesai mandi, mbak Egli sudah rampung mengepel seluruh rumah. Waahh...nyamannya kalau sudah pakai daster, kami berkumpul di ruang keluarga. Mbak Egli uthak-uthik HP jualan on line, eyang melipat baju, dua putranya aku bukakan blog di laptop. Melihat mainan tradisionil dan Grebeg Sekaten, eyang lebih suka melihat proses pembuatan batik di Batik Exotik. Mbak Egli mengambil salah satu foto bunga yang aku dapat hari ini, untuk gambar profil dagangan on linenya.
Sebelum tidur mataku menerawang keatas. Bersihnya rumah ini, sederhana dengan dua kamar tidur namun setiap hari selalu dilap dengan kain disetiap sudutnya, tak ada debu yang betah menempel. Jadi malu...rumahku tidak sebersih ini. Tempat tidur ini semuanya bersih, kolongnya selalu dipel. Bantal tertata bersih rapi dengan selimut tebal di sudut tempat tidur. Aku pilih tidur disebelah pinggir mingklik-mingklik agar seprei tetap rapi dan tidak menggunakan selimut tebal itu. Dalam doa ku ucap beribu syukur mengiringi pejam mata ini.

Liburan hari ke lima
Jum’at, 26 Januari 2018 - Waduk Mini (Embung) di Desa Cangkring Kecamatan Sadang Kabupaten Kebumen & Pasar Tradisional Sadang
Berangkat dari rumah jam tujuh pagi. Untung satu-satunya celana panjang yang aku cuci semalam sudah agak kering, bisa dipakai. Udara pedesaan sangat segar mengiringi langkah di liburan hari ke lima ini. Sampai di Embung Cangkring saya bertemu dengan bapak Nurito dan bapak Herman. Dari beliau berdua saya mendapat banyak informasi. Awalnya berupa hutan pinus tanah-tanah desa. Tinggi gunung dari jalan sekitar sepuluh meter. Gunung tersebut dipangkas dan diolah menjadi kebun durian. Embung selain untuk budi daya ikan, airnya juga untuk menyirami kebun durian. Menurut ahlinya, di musim kemarau embung itu mampu menyirami 2000 pohon durian. Dari mulai penanaman bibit, sampai umur TIGA TAHUN sudah berbuah. Pada panen perdana berat buah durian ada yang mencapai SEBELAS kilo gram. Pada panen yang akan datang diperkirakan ada yang lebih besar lagi. Kebun durian tersebut terhampar luas sampai seberang sungai Cangkring. Niat awal untuk mengurangi urbanisasi maka diberdayakan potensi-potensi yang ada. Salah satunya ya kebun durian ini, sekarang petani dan yang terkait sudah merasakan hasilnya.
Dengan adanya embung dan kebun durian diharapkan meningkatkan perekonomian. Ada hasil dari budidaya ikan dan penjualan buah durian, belum lagi bila nanti berkembang menjadi tempat wisata alam yang sangat dirindukan orang-orang dari kota yang akrab dengan polusi udara sehari-hari. Sejuk, asri dan hening sebagai dambaan mereka. Semoga nanti para wisatawan yang datang tetap menjaga lingkungan dengan TIDAK BUANG SAMPAH SEMBARANGAN. Kata-katanya terlihat enteng, ringkas, tetapi itu perilaku yang tak mudah diubah. Mudah-mudahan bisa terbina dengan baik di tempat wisata ini.
Di sekitar embung banyak bunga berserak sepanjang jalan, termasuk kumis kucing atau putri malu. Saya menemukan batang rerumputan yang berpilin membentuk jalinan alami, cantik banget. Suasana senyap, hanya sesekali ada yang melintas. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo. Kami segera turun karena kerabat saya, bapak Saimin harus sholat jum’at siang nanti. Sangat bersukur cuaca cerah tanpa hujan sehingga dapat menikmati perjalanan dengan nyaman.
Singgah sebentar di pasar tradisional Sadang. Beli pecel daun kenci yang belum pernah saya makan sebelumnya. Rasanya kreas-kreas... lebih kriuk bila dibandingkan dengan kangkung. Beberapa makanan lain juga ada di pasar ini seperti apem, lapis, coro, cucur dan lainnya. Kacang rebus dijual masih ada tangkainya. Meski ukurannya kecil, rasanya cukup mantap, terasa gurihnya. Orang menyebutnya kacang mentes yang berarti tua, padat berisi dan gurih rasanya.
Bertemu bu Nur, penjual gula merah yang terbuat dari nira pohon aren. Buah dari pohon aren disebut kolang-kaling yang biasa untuk campuran es buah, untuk dibuat manisan, untuk campuran saat membuat kolak, dan lain-lain. Gula aren ini rasanya lebih legit. Saya belum pernah melihat pohonnya, lain waktu ya... semoga berkesempatan meliput cara mengambil nira dari pohon aren dan proses pembuatan gulanya. Bu Nur tidak membuat sendiri, hanya membeli dan kemudian dijual kembali di pasar. Bentuk gula merah aren cukup besar, yang saya beli beratnya sekitar satu kilo gram. Untuk lebih jelasnya silakan melihat gambar di IG tamanbarokahbusur. Saya sudah mencicipi rasanya legit mantap, para penjual jamu tradisional yang disajikan segar biasanya menggunakan gula aren ini. Misal jamu beras kencur, jamu kunir asem ( kunyit asam ) tapi harganya tentu menjadi lebih mahal karena gula aren memang lebih mahal daripada gula merah kelapa.
Aku melanjutkan keliling pasar, lho... kok ada sayuran yang aku masih asing dan belum pernah melihatnya. Katanya biasa dimasak tumis, rasanya seperti kangkung. Daun cantik itu bernama LENGKO. Itu disebelah selatan ada penjual dawet atau cendol, aku minum satu gelas sambil teringat mas Saimin. Pastinya dia baru ngopi di warung pinggir pasar, sama-sama haus. Di pojok belakang pasar tampak bapak-bapak bergerombol. Ternyata pasar hewan, kambing-kambing ditambatkan dengan tonggak agar tak lepas. Sambil merokok tingwe ( linting dewe ) yang punya kambing sabar menanti pembeli. Aku keluar pasar menghampiri mas Saimin yang menunggu, “ Sudah makan minum mas? “ “ Belum bu, nggak nemu warung makan yang cocok “. “ Woow... tak kiro wis dahar “ ( aku kira sudah makan ). “ Baiklah kita pulang, nanti kalau ada warung makan yang panjenengan cocok, silakan mampir “, jawabku sambil teringat segelas cendol yang aku minum di dalam pasar. Mas Saimin sedari tadi hanya menungguku tanpa menikmati kopi, ternyata dia lebih haus dari aku.
Dalam perjalanan pulang sesekali singgah ditempat yang asri, diantaranya pada hampar rumpun keluarga pakis yang sangat seegaarrr... berada di bawah deret pinus yang menjulang. Kupu-kupu juga beterbangan disekitarnya, menyelinap disela-sela daun pakis dan terbang jauh... hilang masuk ke hutan pinus. Pukul sebelas duapuluh menit sudah sampai di Karangsambung, mampir makan di warung Padang. Aku diantar sampai depan Puskesmas, mas Saimin bersiap untuk menunaikan sholat Jum’at, “ Sampai ketemu di hari Sabtu besuk mas... “. Selanjutnya aku jalan-jalan sendiri menikmati suasana desa.
Sampai pada hamparan sawah bak permadani hijau, terlihat ada gubug reot bertiang bambu, beratap daun blarak. Blarak adalah daun pohon kelapa yang sudah kering, dianyam sedemikian rupa digunakan untuk atap gubug reot tersebut. Di sampingnya tampak sumur, dari jauh terlihat tiang beton penyangganya. Pada tiang penyangga itu dipasang kerekan dari besi yang dilengkapi tali karet, menjulur sampai permukaan air, ujung satunya lagi dipasang ember. Bila ember diarahkan ke permukaan air dan tali karet satunya dijulur ke bawah, maka ember akan tercelup dan berisi air. Setelah itu tarik ember ke atas dengan cara tangan kanan kiri bergantian menarik tali karet. Sampai di permukaan sumur, air sudah siap digunakan. Begitu cara mengambil air dari sumur dengan ember dan kerekan.
Rasanya aku pingin duduk di gubug reot tadi, seringan mata memandang... rasanya dekat... tidak jauh. Eee... berusaha menuju kesana ternyata tidak sampai-sampai. Ku lihat ada ibu muda bersama putranya turun dari motor, mungkin mau menengok sawahnya. Dia menyapa ku, “ Ibu mau kemana bu...? “. “ Ingin duduk di gubug itu bu, rasanya kok teduh dan adem “. Lalu memberi penjelasan cukup panjang sebelum menghilang dari pandangan ku, “ Ibu bisa lewat jalan sebelah sana, terus belok, belok kanan sedikit lagi. Tapi gubug itu nggak dapat untuk duduk bu, bawahnya becek “. “ Baiklah bu, matur nuwun coba saya ikuti petunjuk ibu “. Susah memang mendekati gubug itu, saat hampir sampai, terhalang oleh parit yang tak mungkin aku melompat. Benar juga, dari seberang parit tampak lantai dasar gubug itu memang becek. Aku sudah berusaha maksimal untuk mendekat. Balik arah untuk kembali ke jalan raya, eee... mana ibu dan anaknya tadi? Kok menghilang. Melewati jembatan kecil penghubung antara sawah dan jalan raya. Anak kecil tadi tampak berdiri di dekat sepeda motor, mana ibunya? Apakah baru memetik cabe? Untuk membuat sambal terasi atau sambal kosek. Sampai jembatan aku kaget dan pura-pura tidak melihatnya, ternyta ibu tadi mau BAB di sungai, bukan mau memetik cabe di sawah. Maafkan aku ibu, telah menunda kenikmatanmu dengan pertanyaan tentang gubug reot tadi.
Aku melangkah lagi sesuka hati. Ternyata bila didekati dan dicermati, bunga dari rerumputan pun punya bentuk dan warna yang tak kalah indah dari bunga yang biasa dipajang dan dirawat. Hanya bunga rumput terhampar dibawah, terinjak kaki yang melewatinya. Hikmah yang aku dapat, nikmat sekecil apapun sudah seharusnya aku sukuri. Dari kumpulan kecil + sedikit + tipis terakumulasi menjadi sebongkah nikmat, samudra nikmat... meluap tiada tara... lubeerrr... tak bertepi sampai akhir hayat. NIKMAT TUHAN KAMU YANG MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN? Aku teringat itu coos...coos...coos...
Ada capung atau semprang yang biasa aku temukan disekitar arena bermain bersama di kebun sewaktu kecil dahulu. Saat ini jangankan kebun untuk bermain bersama, halaman rumah pun sering tak ada. Capung itu hinggap di ranting kering, tanganku berayun pelan untuk menyentuhnya, ia terbang jauh meninggalkan telapak tanganku.
Capung yang lain hinggap di ranting kecil yang tumbuh diantara bebatuan, pindah terbang ke ranting lain yang berada di tepi sawah, balik lagi hinggap di bebatuan. Mungkin ini tidak menarik, tetapi ingin ku persembahkan buat anak-anak yang tinggal di perkotaan jauh dari taman dan sawah. Karena capung tak akan hinggap antara tembok beton ke tembok yang lain. Capung hanya akan hinggap dari ranting ke ranting.
Selain capung warna merah, bertemu juga dengan capung yang berwarna kuning. Dalam perjalanan kali ini tidak aku temukan capung warna hijau yang tubuhnya lebih besar. Juga tidak ada capung jarum atau disebut juga semprang dom. Tubuhnya kecil tipis seperti jarum pentul, hanya besar di bagian kepala. Kebesaran Tuhan, capung pun sangat beragam jenis, warna dan ukurannya.
Bertemu walang atau belalang. Pada kesempatan ini hanya ada belalang kecil yang berwarna coklat. Sebenarnya ada banyak macam belalang yang berbeda dalam bentuk dan ukurannya. Ada yang berwarna hijau, adapula yang warnanya lebih menyerupai warna kulit kayu kering, coklat khas. Semoga ada minat dari generasi muda untuk meneliti species ini sebelum punah. Saat hutan berangsur gundul, perkebunan bertahap berkurang, di sawah tumbuh perumahan berarti berangsur pula lenyapnya habitat hidup serangga.
Ku tinggalkan belalang dan beralih mendekat pada sekelompok aneka kupu yang berayun di hampar bunga kertas. Ternyata untuk mengundang kupu-kupu tidak mahal syaratnya. Aku ingin menanam bunga kertas di teras depan rumah yang sempit, semoga nantinya kupu-kupu, kumbang, capung, belalang senang singgah di tamanbarokahbusur. Walau sederhana tampak sedap dipandang, asri dinikmati, sejuk dalam hati. Ini penutup perjalanan liburan hari ke lima.
Aku sampai di rumah mbak Egli menjelang Asar. Istirahat sambil mengagumi kebiasaan di keluarga ini. Seperti kemarin, semua dilap, dipel. Pada ruang dapur, di bawah kompor gas sengaja dibuat terbuka tanpa pintu penutup. Ada satu box plastik besar diletakkan disitu berisi berbagai peralatan dapur. Tiap kali dipel, box plastik itu pun ditarik keluar dulu, semua dilap bersih pakai kain basah. Ya ampun... beda jauh dengan dapur di rumah yang pasti ada percik licin minyak goreng. Katanya keluarga ini tidak menyimpan barang-barang yang tidak digunakan, supaya rumah ringkas tidak berantakan. Kalau itu aku pun sudah, tapi tidak sanggup sebersih rumah mbak Egli. Salah satu pelajaran yang ku dapat pada perjalanan liburan ini.
Setelah semua makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga seperti hari kemarin. Kami saling berbagi cerita yang bermanfaat. Aku menyampaikan rencanaku besuk pagi. Jam enam harus berangkat ke tempat wisata terakhir. Terimakasih atas semua kemudahan yang aku terima dari keluarga ini. Terutama kebersihan rumahnya yang pantas diikuti. Tidak lupa kunci rumah mertua adik ipar yang kosong, sudah aku siapkan. Besuk aku kembalikan pada adik ipar. Tidur terakhir di rumah ini, harus segera terlelap agar tak kesiangan diesok hari. Dalam doa ku rajut beribu sukur.

Liburan hari ke enam
Sabtu, 27 Januari 2018 - Brujul Adventure Park
Aku bangun lebih awal, barang bawaan sudah aku kemas sejak kemarin sore. Pamit pada keluarga mbak Egli, terimakasih atas segala kemudahan dan mohon maaf atas semua kekilafan. Sebenarnya ada bahan cerita terdekat yang tak sempat aku catat. Yakni di belakang rumah ini ada bangket panjang, susunan batu yang dibuat sebagai pembatas sungai Luk Ulo agar tidak terjadi banjir. Warga sekitar juga menambang pasir disitu. Termasuk eyang atau ibu dari mbak Egli pun mencari nafkah dengan mengumpulkan batu putih yang bisa dijual. Urai lengkapnya lain waktu saja, aku selesaikan dulu cerita hari ini. Dengan mengucap salam, aku melangkah meninggalkan keluarga ini.
Berangkat dari rumah pukul enam pagi menuju Brujul Adventure Park Desa Peniron Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen. Lewat jembatan Gantung diatas sungai Luk Ulo. Nggak berani melihat ke bawah... singunen... selanjutnya menikmati suasana desa yang sejuk, pemandangan hijau sepanjang jalan. Berhenti sejenak saat melihat ada rakit yang baru melintas di sungai Luk Ulo. Ternyata rakit itu hanya menyeberangkan seorang anak sekolah saja. Tentunya aktifitas ini tidak bisa dilakukan bila sungai sedang banjir.
Pukul setengah tujuh pagi sudah sampai di loket karcis Brujul Adventure Park. Terimakasih pada kerabat saya mas Saimin yang telah mengantar saya jalan-jalan pada liburan hari ke 4 , 5 dan 6. Kami berpisah disini, beliau terus pulang melanjutkan pekerjaan yang lain. “ Hati-hati, selamat jalan, terimakaih dan sampai jumpa ya bu...”, itu pesan komplit buat saya. “ Sama-sama mas Saimin, terimakasih telah memberi banyak bantuan “, jawab pasti pada orang yang telah banyak mengikuti instruksi ku. Sama-sama belajar mengambil gambar dan mau berhenti dibeberapa tempat yang aku mau.
Tiket murah hanya lima ribu rupiah bisa menikmati senyap sunyi dalam kesendirian. Aahh... tidak sendiri, sepanjang jalan bertemu kebaikan, ditemani kemudahan, so pasti bersama malaikat yang ada di kanan kiri ku. Seperti pagi ini, saat aku dan mas Saimin sampai di cakruk, bersamaan itu pula berjalan seorang ibu yang menggendong beberapa termos air panas di bakulnya. Jadi sebelum bingung mencari teman, Yang Maha Penyayang sudah mempertemukan aku dengan teman baru pengganti mas Saimin.
Badhe tindak pundi bu? “, sapa ku. “Badhe sadeyan wonten nginggil bu”, jawabnya. Yang dimaksud nginggil adalah atas, ibu itu mau berjualan di tempat wisata. Namanya ibu Suti, usianya jauh lebih muda dari ku, namun semangat rajinnya wooww. Menyongsong rejeki, pagi-pagi sudah siap naik bukit.Terimakasih Tuhan, selalu Engkau mudahkan perjalanan ini. Bu Suti hadir sebelum aku mencarinya. Bu Suti gaet berikutnya setelah mas Saimin. Bersamanya aku menyusuri jalan licin, naik...naik... dan terus menanjak.
Karena jalan utama baru diperbaiki, maka kami harus lewat jalan pendakian yang lebih asyik dan menantang. Setelah mendaki beberapa saat, sampailah ditempat yang lebih datar. Nun jauh disana tampak gunung Pranji. Bagian kanan lebih cerah dan sebelah kiri masih tampak berkabut. Aduuhh... ada suara burung yang masih bebas hidup di habitatnya, bukan burung yang dipelihara di rumah-rumah. Ayo lanjutkan perjalanan.
Keatas sedikit ini ada panah menuju ke puncak gunung Brujul kalau mau kesana. Tetapi kita menuju ke tempat wisata yang ada di bawah. Uuhuuiii... matahari... matahari sudah terbit nich... Melewati kebun bodin yang kira-kira baru lima puluh centi meter. Bodin adalah nama lain dari ketela pohon, itu tuh... tela-tela keju yang biasa kita beli. Aku berada ditempat sejuk berteman sepi. Ayo lanjutkan perjalanan.
Senyap... hanya suara jangkrik atau pun binatang-binatang lain yang aku tidak kenal. Disini senyaapp... tuch sesekali terdengar suara burung dari jejauhan. Sambil jalan aku sempatkan bertanya pada bu Suti, “ Cobi bu, kulo pingin mireng. Menopo ingkang wonten pangangen panjenengan ningali kulo ingkang namung  mlampah-mlampah ijen? “ ( Coba bu, saya pingin dengar. Apa yang ada dalam angan ibu, melihat saya yang hanya jalan-jalan sendiri? )  Woow... jawabnya,” Ibune tah seneng... nglaras gesang. Mlampah-mlampah ing panggenan kang tasih asri. Kulo mawon seneng menawi saget kados ibune... dolaann... seneng bu... seneng... hehehe... “. ( Ibu sih senang... menikmati hidup. Jalan-jalan ditempat yang masih asri. Saya pun senang bila bisa seperti ibu... bermaiinn... senang bu... senang... hehehe... “. Aku cukup tercengang mendengar jawabannya, karena itu setepat isi hatiku. Tidak seperti pendapat yang biasa aku dengar : “ Kok sempat-sempatnya “ , “ Kok pergi seorang diri, enam hari lagi, lalu siapa yang membawakan kopernya? “. Bagiku itu justru pertanyaan aneh, masak petualang bawa koper. Kayak mau umroh aja. Orang yang suka jalan-jalan tentunya sudah terbiasa membawa perlengkapan seringkas mungkin. Aku ganti menyenangkan bu Suti, “ Apik...apik...leres bu...leres... “. ( Bagus...bagus...betul bu...betul... ) Ku acungkan jempol tangan sambil tersenyum. Kenapa aku sempat melakukan perjalanan in? Jawabnya karena aku ingin terus belajar membaca ayat-ayat alam yang terhampar sepanjang langkah.
Ada pohon mlijo yang sudah mati. Daun pohon mlinjo disebut daun so. Itu tonggaknya, diatas untuk menempel semacam jamur yang juga berfungsi seperti pot. Naah diatasnya untuk tumbuh rumput. Terus disampingnya ada pohon gadung yang menjalar.
Tak terasa sudah tiba dijalur masuk menuju puncak. Bu Suti belok ke warungnya setelah memberi banyak penjelasan padaku. “ Hati-hati bu, jalannya licin “. Ku jawab, “ Injih bu Suti, nuwun “. Dalam prasasti obyek wisata ini diresmikan oleb Bupati Kebumen Ir.H.M. Yahya Fuad. SE pada tanggal 30 April 2017. Belum lama ya... semoga bisa berkembang dan terjaga kebersihannya. Jangan lupa dengan mekanisme pengelolaan pembuangan sampahnya.
Ada gambar pendaki memakai topi, memegang tongkat dan mengenakan tas gendong berjalan menuju Brujul Adventure Park. Melihat gambar itu ... senangnya ... aku merasa lebih muda. Semoga masih ada kesempatan untuk berkarya dalam usia senja.
Segar sepanjang langkah. Jalan tanah bukan aspal. Terbentang rerumputan, bebatuan, tonggak-tonggak pinus. Bukan berjejalnya perumahan dan bisingnya kota, semua jalan diaspal, dicor...tak memberi kebebasan air hujan kembali meresap ke bumi. Aku benar-benar cuci mata menikmati yang beda.
Ada batu-batu besar yang masing-masing diberi nama sbb:
Batu Tumpeng berupa bongkah batu besar yang mirip tumpeng
Situs Pasujudan Watu Tumpeng beupa batu lebar dan datar
Situs Watu Tumpang adalah tempat pertapaan orang sakti madraguna yang membuka hutan Tumpang dan hutan Brujul.
Batu Ambeng berupa bongkah batu yang besar dan diatasnya datar cukup luas. Saya berdiri diatas batu ambeng posisi terus berputar menikmati pemandangan di sekelilingnya. Berserak bebatuan besar, jalan alami yang lapang, berpagar rimbunan batang pinus.
Batu Buaya berupa batu besar memanjang yang disisi depannya terbelah bak moncong mulut buaya yang terbuka.
Ada daun berwarna merah, lalu dalam captionnya aku tulis AGLONEMA MERAH. Lalu ada koreksi dari teman di Sidoharjo Lamongan bahwa namanya yang benar adalah : HANJUANG. Terimakasih ibu Mislah Ikhwati, semoga kebun anggreknya bertambah subur. Indah bunganya menjadi ladang jariah ibu Mislah...disaat orang lain merasa senang melihatnya...termasuk saya walau hanya lewat medsos.
Bertemu kupu-kupu kuning di pagi hari, tidak bergerak saat aku dekati, mungkin masih ngantuk ya... Karena di hutan pinus ini tidak banyak bunga, maka kupu-kupunya juga jarang.
Sampai diatas di tempat yang lebih datar. Ada Pagupon atau Gupon artinya sangkar merpati. Senyap... tenang... tuuhh... suaranya. Lihat diatas sana ada asesori sepeda, tapi nggak usahlah aku kesana. Di puncak ini sangat aku rasakan Kebesaran-Mu Tuhan...di pingir sana jurang curam.
Ada 5 sap ayunan : 1. Untuk usia 50     2. Untuk usia 60     3. Untuk usia 70     4. Untuk usia 80     5. Untuk usia 90     Eeemmm... ternyata aku paling muda ya..., boleh menikmati sap paling bawah yang berwarna merah.
Sambil berayaun di sap terbawah, aku ngudoroso alias omong dewe. Hari terakhir perjalanan liburan saya. Alhamdulillah atas ridho Allah diperkenankan menikmati suasana alam yang masih asri. Kedua atas ridho Samoros tentunya. Doanya selalu untuk istri yang jalan-jalan sendiri selama enam hari. Juga doa Nafis -Tatma untuk ibunya. Sehingga adanya hanya lancar... lancar... nikmat... sepi sendiri. Ehmm, sepanjang jalan selalu ketemu orang-orang yang siap menolong.
Ada sedulur yang baru lewat, bisa minta tolong untuk merekam ini. Nggak tampak sepatu berayun sendiri. Ya Allah..., hamba bisa menikmati suasana tenang ditempat yang masih asri. Pertama atas ridho-Mu, kedua tentunya ridho dari Samoros atas doa-doanya untuk istri yang selama enam hari jalan-jalan sendiri. Juga untai doa Nafis-Tatma untuk ibunya. Sehingga sampai detik ini sepanjang jalan adanya nikmat... kemudahan... rasa sukur... Semua tak lepas dari empat hal tersebut : Ridho Allah, Ridho Samoros, doa Nafis, doa Tatma. Alhamdulillah.
Masih pagi, aku pengunjung nomer satu, sampai diatas pun suasana lengang sendiri. Berteman banyak burung merpati yang mendekat ke saya. Senang berada disini yang luas, di rumah nggak punya kebon. Meski dipelihara tetapi masih dapat hidup di alam bebas. Sayang nggak bawa jagung ya... nggak tahu kalau disini akan bertemu banyak merpati. Kalau bawa jagung, pasti mereka akan lebih mendekat lagi.
Baru berucap, “sayang tak membawa jagung”, eee... ada petugas datang mau memberi makan merpati. “Pak, bolehkah saya yang memberi makan?”. “Silakan bu, monggo. Saya bisa membantu mengambil gambarnya”. Jadi terharu lagi, kemudahan dalam mendapat yang aku inginkan. Terimakasih Ya Allah. Beberapa waktu aku duduk bersama merpati yang tak pernah ingkar janji. Butir-butir jagung di telapak tangan, membawa paruh merpati bersentuhan dengan kulitku. Terasa geli, namun aku biarkan... Aku nikmati kesempatan langka ini. Berusaha belajar menikmati Barokah Allah dimanapun berada.
Ada sedulur lewat, saya bisa minta tolong naik di ayunan. Karena usianya 50, jadi di trap paling bawah yang berwarna merah. Untuk atasnya lagi usia 60, 70, 80, 90 tahun. Nah, ini ada maknanya ya... Jadi usia semakin bertambah, berarti sisa waktu malah semakin berkurang. InsyaAllah semakin tinggi, eemmm... semakin mencermati untuk siap-siap berpulang ke hadirat-Nya. Kita hanya dapat berdoa insyaAllah khusnul khotimah. Amiin Ya Allah. Amiin.
Disebalik pohon aku thingak-thinguk mencari suami dan kedua anakku, jangan sampai tertinggal saat turun bukit Brujul. Ooo... aku sendirian, mereka pun ada disana... sana... dan sana dengan aktifitasnya masing-masing. Lain waktu insyaAllah kita bisa bepergian berempat.
Pukul setengah sebelas pagi, saya harus turun sekarang. Ya Allah tak ada niat yang lain dalam perjalanan selama seminggu ini kecuali untuk belajar mengagumi karunia-Mu. Berusaha melihat dengan mata hati, mencermati kemudian mengumpulkannya menjadi seonggok aksara yang akan tersusun sedikit demi sedikit nanti, dalam proses belajar menulis saya di tamanbusur.blogspot.com. Ya Allah sekiranya ada manfaat dikemudian hari, aku mohon limpahkan RIDHO atas ikhtiar ini. Semua yang terjadi atas kehendak-MU. Ya Allah bimbinglah kami di jalan kebenaran. Amiin Ya Allah.
Aku berbalik arah siap turun bukit Brujul. Eee... aku lihat ada busur dan anak panah yang juga disiapkan di tempat wisata ini. Aku naik terlalu pagi, jadi belum semua sarana permainan siap digunakan. Petugasnya pun belum datang, aku yang pertama kali menikmati sinar mentari diatas bukit. Ternyata yang jaga juga mas-mas baik hati yang membawa jagung tadi. “Mas, bolehkah saya pinjam panahnya untuk foto? Tapi batere hpnya habis, saya akan minta tolong pada fotografer yang ada disebelah sana”. Sebelumnya aku berkenalan dengan mas Slamet dan teman cantiknya. Mas Slamet berkenan mengambil beberapa gambar dan berjanji akan mengirimkannya nanti, ku beri nomor hp. Pingin minta tolong sekali lagi saat aku memegang gendewa dan anak panahnya. Acara pinjam panah diperbolehkan, jadilah aku minta tolong foto pada mas Slamet lagi.
Saat aku mengembalikan pada mas-mas yang baik hati, beliau memaksaku untuk foto menggunakan hp yang habis batrenya. Beliau meminjami pengisi batre yang kebetulan pas di hp ku. Jadilah aku punya foto bersama anak panah. Matur nuwun sanget mas, karena mas Slamet sampai hari ini tidak mengirimkan foto padaku. Semoga kebaikan panjenengan diganti dengan yang berlipat, telah membuat senang orang tua dan nggawe ati lego.
Ku arahkan anak panah pada titik fokus yang ada didepan sana. Aku bukan Srikandi ataupun Arjuna pemanah asmara, tapi boleh lah aku mencoba panahnya. Mencoba memanah lagi, kali ini bukan tertuju pada titik fokus tetapi bergaya lepas diantara barisan pinus yang menjulang tinggi. Teduh, nyaman dalam kesendirian sementara waktu. Aahhh... jadi teringat sesuatu, namaku bu Sur, bak anak panah... aku hanya bisa melesat sejauh ridho pak Sur. Termasuk hari ini, turun dari bukit Brujul menuju rumah adik ipar. Tak lupa menyerahkan kunci rumah mertuanya. Setelah istirahat, sore hari adik ipar mengantar naik bis pulang Yogyakarta. Pukul delapan malam turun dari bis dijemput pak Sur. Ya..., berangkat jalan-jalan diantar pak Sur saat naik bis, dia pula yang menjemputnya. Ada acara penting di hari minggu sehingga aku harus pulang Sabtu. Manut nurut sendiko dawuh tentunya. Alhamdulillah selamat lancar asyik nikmat barokah.

Minggu, 28 Januari 2018
Kami harus hadir di tasyakuran pernikahan putra dari teman haji 2015. Aahh... jadi teringat saat indah disana. Syahdu bersebelas kami bersama dengan segala beda sebagai keluarga baru.
1.      Sepasang suami istri yang kami anggap sebagai bapak dan ibu.
2.      Seorang ibu yang kami panggil bibi.
3.      Sepasang suami istri yang kami anggap sebagai kakak tertua.
4.      Kami berdua berada dalam urutan nomer empat ini dalam usia.
5.      Sepasang suami istri yang usianya lebih muda kami sebut adik.
6.      Terakhir sepasang suami istri yang paling muda, kami memanggilnya adik terkecil. Beliau ada di kanan kiri kami dalam foto tersebut. Saya berterimakasih, beliau juga berkenan memberi semangat dalam proses belajar menulis ini. Kapan ya... tulisan berjudul “Haji ku” bisa terwujud? Sampai hari ini konsep tinggal konsep. Mana bisa tersaji kalau tak ku  mulai....

Sabtu, 10 Desember 2016
Sore hari nan cerah, aku duduk di sawah tetangga depan rumah. Tak lupa membawa biola kesayangan. Usia limapuluhan baru belajar biola, baru belajar menulis. Sama-sama rawan lupa. Lupa cara menggeseknya, lupa tahapan posting di blognya. Namun tak apalah, aku hanya ingin menikmati hidup yang hanya sekejap ini untuk selalu belajar. Setangguh mana aku mampu istiomah dalam meniti perjalanan proses ini? Resapi kunci yang berserak sepanjang langkah, sejauh netra memandang, setinggi tangan  menggapai, sedalam kalbu melumat tuk tertoreh lewat tinta. Yang ku mampu hanya menengadah pada-NYA. Mudahkan sekiranya ada secercah guna berteman makna. Ya Allah, Amiin....

(golek ilmu kudu telaten )