Sunday, December 3, 2017

BBM 12 KERATON YOGYAKARTA

BBM 12   KERATON YOGYAKARTA

Setelah menulis BBM 9 PURO PAKUALAMAN, ada pertanyaan dari teman di Langsa Aceh Timur, “Sekaten itu acara apa kak?”
Eeemm...kemarin saat Maulid Nabi Muhammad saw hari jum’at tanggal 1 Desember 2017 saya medapatkan brosur tentang KERATON YOGYAKARTA yang dibuat oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA YOGYAKARTA Jl.Jogja – Solo km 15, Bogem, Sleman, Yogyakarta Website: www.purbakalayogya.com Email: bp3diy@yahoo.com
Saya ingin menulis ulang brosur tersebut agar benar-benar tuntas dalam membacanya, mulai yuk...
SEJARAH KERATON YOGYAKARTA
Sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Susuhunan Paku Buwana III dan Belanda di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Perjanjian perdamaian ini dilakukan di Desa Giyanti pada tanggal 29 Rabiulakhir 1680 Jw atau tanggal 13 Februari 1755 M. Sehingga perjanjian ini dikenal nama Perjanjian Giyanti, Dalam Perjanjian Giyanti diputuskan tentang pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian. Sebagian tetap dikuasai oleh Susuhunan Paku Buwana III dengan Surakarta sebagai pusat pemerintahannya dan sebagian yang lain dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Menurut perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi berhak atas daerah seluas 87.050 karya, dengan perincian 53.100 karya daerah negaragung dan 33.950 karya daerah mancanegara. Daerah-daerah tersebut meliputi :
a.       Sebagian daerah Pajang, Mataram, Kedu, dan Bagelen,
b.       Madiun, Bojonegoro, Mojokerto, Grobogan, dan sebagian Pacitan.
Pada hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono 1 Senopati Ing Alaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah mengumumkan bahwa daerah yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibu kota di Ngayogyakarto atau sekarang dikenal sebagai Yogyakarta. Keraton Kasultanan Yogyakarta dibangun di Alas Beringin yang sebelumnya terdapat pesanggrahan Garjitawati atau Ayodya. Luas wilayah Keraton Yogyakarta 14.000 meter persegi.
Secara fisik Keraton Yogyakarta dibangun dengan mempertimbangkan aspek filosofis, ekologis, dan konsentris. Pertama, secara filosofis diwujudkan dalam konsep tata ruang poros imajiner atau sumbu filosofis antara Gunung Merapi  ­-  Tugu  -  Keraton  -  Panggung  Krapyak, dan Laut Selatan [ Segara Kidul ]. Makna yang terkandung dalam poros imajiner itu mencakup simbol keberadaan raja, yaitu satu tekat antara raja dan rakyat, perjalanan hidup manusia dan simbol- simbol lain yang berkaitan dengan lingkungan. Kedua, secara ekologis keberadaan Keraton Yogyakarta mempertimbangkan kondisi lingkungan.
Di dalam lingkup tersebut tercakup komponen utama kota dan tata ruangnya yang berorientasi ke utara  -  selatan serta mengambil tempat di antara Sungai Code , Sungai Gajah Wong, dan Sungai Opak di timur serta Sungai Winongo, Sungai Bedog, dan Sungai Progo di sebelah barat. Ketiga, secara konsentris keraton menjadi pusat orientasi dari kawulanya. Secara makro tata ruang wilayah terdiri dari kedhaton sebagai pusat orientasi kuthagara, negaragung dan mancanegara. Khusus untuk bangunan-bangunan keraton terdiri atas kedhaton, cepuri, Alun-alun Utara dan Selatan, Masjid Agung, benteng dengan jagangnya, Tamansari, pemukiman para bangsawan [ dalem ], Tugu, Panggung Krapyak, jaringan jalan sebagai Kuthagara. Sebagian wilayah Mataram, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumi Gede sebagai negaragung dan wilayah mancanagara sebelah barat meliputi daerah Banyumas serta Mancanagara sebehah timur yang meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrawa, Japan [ Mojokerto ], Jipang [ Bojonegoro ], Sela, dan Grobogan.

Sumbu Filosofis Yogyakarta
Salah satu ciri khas Kota Yogyakarta adalah pola tata rakit kota yang membujur arah utara – selatan. Pola itu diperkuat dengan adanya suatu “poros imajiner” yang membentang dari arah utara menuju selatan dengan keraton sebagai titik tengahnya. Poros imajiner diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu, yaitu tugu [ Pal putih ] di utara ke selatan berupa jalan Margatama [ sekarang Jalan Mangkubumi ], Margamulya [ Jalan Malioboro – Ahmad Yani ], pangurakan, keraton, dan Panggung Krapyak. Jika titik awal [Tugu ] diteruskan ke utara sampai ke Gunung Merapi, sedangkan dari Panggung Krapyak diteruskan sampai Laut Selatan. Secara simbolis, filosofis pola penataan wilayah ini mempunyai arti dan makna tersendiri, yaitu melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan [ Hablunminallah ] dan antara manusia dengan sesamanya [ Hablunminannas ]. Secara kultural, poros Siti Hinggil – Tugu berfungsi sebagai titik pusat konsentrasi apabila Sultan sedang lenggah sinewoko di Bangsal, Manguntur Tangkil, Siti Hinggil.
Jalan poros Siti Hinggil sampai Tugu secara historis merupakan simbol keberadaan raja dalam menjalani proses kehidupannya yang dilandasi manembah manekung [ menyembah secara tulus ] kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan disertai satu tekat menuju kesejahteraan bersama rakyat [ golong gilig ]. Dalam proses perjalanan hidupnya, raja diwarnai berbagai halangan dan godaan yang dilambangkan dengan keberadaan pasar [ Beringharjo ] sebagai lambang godaan nafsu serakah benda/harta dan Dalem Kepatihan sebagai lambang godaan kekuasaan. Namun, kalau dikelola dan dikendalikan, tantangan dan hambatan tersebut dapat berpotensi menciptakan kesejahteraan lahir dan batin. Gunung Merapi sebagai terminal akhir dalam alur proses sumbu filosofis Keraton. Gunung Merapi diyakini pula sebagai surga pangrantuan, yang berasal dari kata antu yang artinya menanti, yakni “menanti sebelum roh diizinkan masuk surga, yaitu kembali kepada Sang Pencipta”.

Bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta
Keraton berarti tempat kediaman raja, yaitu meliputi wilayah di dalam lingkup tembok cepuri, sedangkan istilah kedhaton digunakan untuk menyebut bagian paling dalam keraton, yakni Bangsal Kencana dan pelatarannya.Fisik Keraton Yogyakarta ditata dalam tujuh bidang halaman, yang masing-masing dikelilingi tembok setinggi 5 meter. Ketujuh halaman itu ditata berderet membentuk poros imajiner utara-selatan. Namun, di Kedhaton terdapat poros/ sumbu yang mengarah timur-barat, mulai dari Kasatriyan di timur kemudian ke barat yaitu Kedhaton [ Bangsal Kencana dan Prabayeksa ] sampai kaputren dan Kedhaton Kilen.
Di tiap halaman terdapat  bangunan-bangunan untuk memenuhi kebutuhan seremonial, dan kebutuhan sehari-hari. Bangunan-bangunan tersebut antara lain adalah: Tratag Pagelaran, Tratag Sitinggil, Bangsal witana, Bangsal Pancaniti, Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencana, Gedhong Jene, Langgar Panepen, Kedhaton Wetan, Bangsal Kemagangan dan Sasana Inggil Dwi Abad. Selain bangunan-bangunan tersebut, di lingkungan keraton juga terdapat rgol-regol [ = pintu gerbang atau gapura ] yang menghubungkan antar halaman, di antaranya Regol Gadhungmlathi, Regol Kamagangan, Regol Manikantaya, Regol Danapertapa, dan Regol Sri Manganti.
Bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta kaya dengan ornamen berupa ukiran, kaca patri, dan representasi tiga dimensi. Ornamen-ornamen itu ada yang bersifat dekoratif saja, tetapi ada pula yangjuga bersifat simbolik. Di antara ornamen-ornamen simbolik di Keraton Yogyakarta yang terkenal adalah: prajacihna, yaitu lambang kerajaan berupa sepasang sayap, mahkota dan inisial HB dalam huruf Jawa; sera sengkalan memet, yaitu penanda waktu yang diwujudkan dalam komposisi gambar. Sengkalan memet di Keraton Yogyakarta yang dikenal luas adalah “Dwi Naga Rasa Tunggal” berupa representasi tiga dimensi dua ekor naga yang saling berlilitan ekor. Sengkalan memet ini menggambarkan angka tahun 1682 J, yaitu kepindahan Sultan Hamengku Buwana I dari Ambarketawang ke keraton.
Di dalam perjalanan sejarahnya, Keraton Yogyakarta tidak berfungsi sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan kerajaan saja, namun juga pernah berfungsi sebagai pusat perjuangan bangsa di tahun-tahun awak kemerdekaan Republik Indonesia. Fungsi lain yang pernah disandang Keraton Yogyakarta adalah sebagai pusat pendidikan tinggi, yakni waktu bagian depan keraton, Pagelaran dan Sitinggil, dipinjamkan kepada Universitas Gajah Mada pada dekade awal berdirinya. Berkaitan erat dengan Keraton Yogyakarta adalah dua alun-alun, yakni Alun-alun Ler dan Alun-alun Kidul yang mengapit keraton. Alun-alun Ler terletak di utara atau dengan kata lain di depan keraton, sedang Alun-alun Kidul terletak di selatan, atau di belakang keraton. Di tengah kedua alun-alun itu masing-masing terdapat sepasang pohon beringin yang dilingkungi pagar keliling, sehingga sering disebut Ringin Kurung. Pohon beringin yang di tengah Alun-alun Ler diberi nama Kiai Dewadaru melambangkan persatuan antara Sultan dan Tuhan, dan Kiai Janadaru melambangkan persatuan sultan dan rakyat. Sekali dalam setahun ada upacara pemangkasan kedua pohon beringin tersebut. Perlu pula diketahui bahwa di tepi Alun-alun Ler ditanam 63 pohon beringin melambangkan usia Nabi Muhammad saw.
Alun-alun Ler berfungsi sebagai tempat untuk beberapa upacara dan acara, seperti Sekaten,Gerebeg, dan dahulu juga untuk rampogan yaitu mengadu harimau melawan kerbau dengan para prajurit sebagai pagar betis. Adapun Alun-alun Kidul digunakan untuk berlatih prajurit, serta berfungsi sebagai jalur prosesi dalam upacara pemakaman jenazah seorang sultan yang akan dimakamkan di Imogiri.


Selesai sudah isi dari informasi yang terdapat dalam brosur tentang KERATON YOGYAKARTA, selanjutnya ditampilkan pula foto-foto yang dapat dibuka di alamat web tersebut di atas. Bila dalam menyalin ada tulisan yang salah, tamanbusur.blogspot.com akan berusaha untuk membetulkannya. Yang saya lakukan sebagai upaya belajar mengenal lebih dalam tentang keraton dengan cara membaca brosur dan menyalinnya kembali.

Friday, December 1, 2017

BBM 11 BLANGKON NGAYOGYOKARTO

BBM 11    BLANGKON GAYA NGAYOGYOKARTO




Anda ingin  memiliki BLANGKON gaya NGAYOGYOKARTO yang demes sreg alias pas, nyaman dipakai? Coba luangkan waktu sejenak untuk membaca kisah ini. Perkenalkan pria paruh baya bernama bapak Agus Indarto yang tinggal di Jetis Sendang Sari kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul. Terdampar jadi pengrajin BLANGKON sebenarnya bukan cita dan angannya. Beliau asli dari Bugisan NGAYOGYOKARTO salah satu kampung sentral para pengrajin BLANGKON. Saat SMP kadang iseng-iseng membantu teman membuat BLANGKON. Berawal dari sinilah keterampilan itu dimiliki.

Lulus STM merantau ke Bali berdagang souvenir, barang dikirim oleh orang tuanya. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih bila Sang Pengatur berkehendak lain. Duoor ... dan duoor ... duoor ... bom Bali satu disusul yang ke dua memporak porandakan perekonomian para penjual souvenir untuk beberapa waktu. Tak sengaja, sayup-sayup terdengar nyanyian merdu Katon Bagaswara dari radio tetangga sebelah...PULANG KE KOTAKU...Gregah bagai terbangun dari mimpi...pak Agus segera berkemas untuk mudik sesuai lantunan mas Katon...PULANG NGAYOGYOKARTO... meski tak tahu apa yang akan dikerjakan nanti.

Coba tebak para pembaca, apa pilihan selanjutnya...nggak tanggung-tanggung. Menikah segera, dengan keyakinan rejeki pasti akan mengikuti setiap ada usaha. Buka angkringan jual nasi kucing [nasi bungkus yang ditambah sedikit lauk, sambal ikan teri atau kering tempe harganya sangat murah, sekarang pun hanya seribu lima ratus rupiah], wedang jahe, teh panas dan aneka gorengan murah meriah. Lokasi sekitar Universitas PGRI berjarak sekitar lima belas kilo meter dari kediamannya. Ngos-ngosan bolak balik mengangkut dagangan, belum lagi kalau musim hujan. Alhasil hanya bertahan delapan bulan.

Gempa bumi di kabupaten Bantul tahun 2006, membawa banyak korban dan lesunya perekonomian untuk beberapa waktu. Kala itu sudah punya putra. Terdesak kebutuhan untuk anak istri, mengharuskan pak Agus harus berfikir sekian keliling...berkunang-kunang bagai puyer bintang tujuh...pusiiinnnggg.... Kali ini tidak terinspirasi lagu namun teringat pepatah nenek moyang sopo nandur bakal ngunduh...siapa menanam akan menuai. Setiap ikhtiar pasti akan berbuah. Satu-satunya keterampilan adalah membuat BLANGKON khas gaya NGAYOGYOKARTO. Niatnya semula untuk batu loncatan sementara belum mendapat pekerjaan lain yang lebih menjanjikan mimpi masa depan. Minggu berganti bulan yang menyongsong matahari untuk selalu berganti...pindah kerja appaaa.... kok belum muncul juga batu-batu lain yang bisa diloncati. Tak terasa jemari tangannya semakin terampil menghasilkan BLANGKON yang halus dan memuaskan pelanggannya. Membuat rasa legowo ... hatinya sudah dapat menerima bahwa inilah karunia Tuhan yang harus beliau tekuni dan nikmati rasa seninya.

Awalnya hanya membuat lebih kurang dua puluh BLANGKON untuk disetor ke pasar BERINGHARJO sebagai pasar terbesar di NGAYOGYOKARTO. Ini dilakukan sekitar satu tahun. Karena kuwalitas dan kerapiannya bagus maka secara gethok tular...dari mulut ke mulut banyak yang pesan ke rumah, bahkan dari luar kabupaten Bantul. Semenjak semakin laris pak Agus tidak perlu setor ke pasar, cukup melayani para pemesan di rumah. Untuk pengrajin yang satu ini lebih idialis, beliau tidak punya asisten, semua dikerjakan sendiri. Lebih marem...mantap katanya.

Kaitannya dengan cinta lingkungan, bahan pembuatan BLANGKON ini sangat ramah lingkungan. BLANGKON kuwalitas prima, lapisan dalamnya menggunakan mendhong sejenis pelepah yang digunakan untuk membuat tikar tradisional. Saat dipakai lebih dingin dan lebih awet. Sedang harga yang lebih murah lapisan dalamnya menggunakan kertas karton dan lem. Bedanya lagi, kuwalitas prima semua pengerjaannya murni jahitan tangan. Disini ketrampilan personal sangat membedakan antara pengrajin yang satu dengan pengrajin yang lainnya. BLANGKON rapi...keren...mantap...laahh yooww.

Adanya DANA ISTIMEWA dari Pusat  memberi semangat munculnya pengrajin BLANGKON baru. Menurut pak Agus di Bantul ada sebelas pengrajin, belum ditambah yang tidak terdaftar. Di NGAYOGYOKARTO yang terdaftar ada tujuh puluh pengrajin. Persaingan di pasar semakin ketat mendorong mereka untuk meningkatkan kuwalitas.

Penghujung kunjungan saya di ruang kerja beliau yang nyaman duduk lesehan di serambi belakang nan tenang...ada pesan menyentuh hati...diniatkan tidak sekedar untuk mencari nafkah. Lebih dari itu...wujud sumbangsih nguri-uri kabudhayan leluhur. Wujud nyata upaya sumbangan karya budaya leluhur agar tak punah hilang terhantam budaya baru dari luar. Karyanya khusus BLANGKON MATARAM khas NGAYOGYOKARTO degan mondol satu.

Demikian yang dapat tamanbusur.blogspot.com sajikan. Kritik saran sangat saya harap untuk proses belajar menulis ini. Terimakasih kepada bapak Agus Indarto yang bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu di hari Senin tanggal 21 November 2016 jam 15.23 WIB.