BBM
14 S E K A T E N
Buat ananda Muhammad Khalil
Azfar. Putra bungsu dari Bapak Arif dan Ibu Yunila Wati di Langsa Aceh Timur.
Beberapa waktu lalu menanyakan, “Apakah sekaten itu?”
Untuk menjawabnya Ibu beli buku panduan yang dijual di
Koperasi Keraton dengan judul Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penyusun Mas Fredy Heryanto. Cetakan ke satu tahun 2009. Diterbitkan oleh Warna
Grafika Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No. 9 F Yogyakarta.
S E K A T E N
Menurut sejarahnya, perayaan
Sekaten bermula sejak jaman kerajaan Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika
jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut “SRADA AGUNG”
itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut,
berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra,
sekaligus untuk menghormati arwah leluhur.
Namun ketika Majapahit runtuh,
dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak, oleh Raden Patah [Raja Demak
pertama] dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya
dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi sarana
pengembangan [syiar] Islam yang dilakukan oleh para wali, dengan membunyikan
gamelan yang bernama KYAI SEKATI, pada setiap bulan Mulud [Jawa], dalam rangka
perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut
SEKATEN [dari kata Sekati].
Pendapat lainnya menyatakan
bahwa, kata SEKATEN bersal dari bahasa Arab, yaitu SYAHADATAIN, yang berarti
Dua Syahadat atau kesaksian. Dua syahadat itu ialah :
1.
SYAHADAT TAUHID, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah. Lafalnya : ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH
[Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah].
2.
SYAHADAT RASUL, kesaksian atau pengakuan bahwa
Nabi Muhammad itu Rasul [utusan] Allah.
Perayaan Sekaten yang
diselenggarakan di Kraton Yogyakarta berlangsung dari tanggal 5 hingga 11 Mulud
[Rabiul Awal]. Acara ini diawali dengan dibunyikan 2 perangkat gamelan yang
bernama KYAI GUNTUR MADU [dari Demak] dan KYAI NAGAWILAGA [ciptaan Sri Sultan
HB I] di Bangsal Ponconiti, disertai pemberian sedekah dari Sultan berupa Udhik-udhik, oleh utusan Sultan.
Setelah selesai, kemudian dengan
dikawal oleh para prajurit Kraton, 2 perangkat gamelan tersebut dikeluarkan
menuju halaman masjid Agung. Selanjutnya gamelan Kyai Guntur Madu ditempatkan
di Pagongan Selatan dan Kyai Nagawilaga ditempatkan di Pagongan Utara. Pagongan
ialah bangunan berbentuk panggung, yang digunakan untuk menempatkan dan
sekaligus untuk membunyikan gamelan Sekaten. Bangunan tersebut ada 2, terletak
di halaman depan masjid Agung, di sebelah Selatan dan Utara.
Dengan gending-gending tertentu
ciptaan para wali, dibunyikanlah gamelan tersebut secara bergantian selama 7
[tujuh] hari, kecuali Kamis Malam sampai Jumat
siang sehabis sholat Jumat, pada jam 08.00-12.00 wib, 14.00-17.00 wib
dan 20.00-24-00 wib. Gending-gending Sekaten yang dibawakan adalah :
Rambu-rambu, Rangkung, Lunggadhung, Atur-atur, Andung-andung, Redheng, Jaumi,
Gliyung, Salatun, Dhindhang Sabinah, Muru Putih dan Orang-aring, Bayem Tur,
Supiyatun, Srundeng Gosong, Sir Tupana, Muhambara, Supangatul Robani dan
Ngasuibi. Semula gamelan Sekaten itu memiliki daya panggil yang sangat besar
terhadap warga masyarakat, dan mereka berdatangan menyaksikannya. Kepada mereka
kemudian diberikan penyuluhan dan penerangan tentang agama Islam. Dan bagi
warga masyarakat yang dengan sukarela menyatakan masuk Islam, diberikan bimbingan untuk mengikrarkan
imannya dengan mengucapkan Syahadatain atau dua kalimat Syahadat. Karena
terjadi perubahan ucapan maka kata SYAHADATAIN itu berubah menjadi SEKATEN.
Inti dari perayaan ini berupa
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 11 Mulud Malam di Serambi Masjid
Agung, dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammamad SAW, oleh Abdidalem Penghulu
Kraton di hadapan Sultan. Acara ini bersifat resmi. Setelah acara selesai,
kemudian 2 perangkat gamelan Sekaten diusung kembali menuju ke Kraton.
Pada tanggal 12 Mulud
diselenggarakan.upacara adat Kraton, yaitu Upacara Grebeg Mulud sebagai puncak dari
perayaan Sekaten.
G R E B E G
Grebeg adalah upacara adat di
Kraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun untuk
memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah garebeg ini berasal dari bahasa
Jawa “Grebeg”, yang berarti “diiringi para pengikut”. Karena perjalanan Sultan
keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut
GAREBEG. Pengertian lain mengatakan bahwa karena gunungan itu diperebutkan
warga masyarakat yang berarti digrebeg, maka disebut GAREBEG.
Pelaksanaan upacara tersebut bertepatan dengan hari-hari
besar Islam seperti :
1. GAREBEG SYAWAL, dilaksanakan pada hari pertama
bulan Syawal untuk memperingati Hari Raya Lebaran [Idul Fitri].
2.
GAREBEG BESAR, dilaksanakan pada hari ke sepuluh
bulan Besar [Dzulhijah] untuk memperingati Hari Raya Qurban [Idul Adha].
3.
GAREBEG MAULUD, dilaksanakan pada hari
keduabelas bulan Mulud [Rabiul Awal] untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Pada setiap
upacara Garebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya.
Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam,
buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung [tumpeng
besar] sehingga disebut GUNUNGAN. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan
kesejahteraan kerajaan Mataram.
Upacara adat
ini diawali dari halaman Kemandungan Lor [Keben]. Dengan dikawal oleh prajurit
Kraton, gunungan yang berada di bangsal Ponconiti dibawa oleh abdi dalem menuju
Alun-alun Lor melalui halaman Sitihinggil Lor dan Bangsal Pagelaran. Setibanya
di Alon-alun Lor gunungan tersebut disambut dengan tembakan salvo oleh prajurit
kraton sebagai penghormatan.
Selanjutnya
gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa
terlebih dahulu oleh Abdidalem Penghulu Kraton, demi kemuliaan Sultan dan
kesejahteraan rakyat. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh
masyarakat yang ingin mendapatkan berkah dari gunungan tersebut.